Senin, 13 Juli 2009

Mahasiswa : Pejuang dan Intelektual


Mahasiswa merupakan korelasi antara dua fungsi, ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain saling melengkapi. Di satu sisi mahasiswa adalah kaum terpelajar yang berada di komunitas kampus, sedangkan di sisi lain mahasiswa adalah masyarakat dalam komunitas sosial (tempat tinggal/domisilinya). Maka mahasiswa pada kedua sisi tersebut, baik sebagai kaum terpelajar maupun sebagai makhluk sosial berfungsi sebagai "Agent of Social Control".
Pola berpikir kaum terpelajar (intelektual) yang jumlahnya relatif sedikit dibanding dengan jumlah penduduk/komunitas sosialnya. Oleh sebab itu, mau tidak mau mahasiswa memikul beban tanggung jawab memperbaiki masyarakat. Sekalipun mereka masih berusia muda, tetapi berkembang dengan cepat dan matang. Sebab, selain mereka mendapat pendidikan di kampus, mereka juga memperoleh pendidikan langsung dari masyarakat atas dasar kondisi dan situasi dimana mereka tumbuh dan berkembang (Yoza Anwar, 1981).
Perjuangan mahasiswa adalah perjuangan akan kebeneran dan nilai-nilai kemnusiaan. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran yang bersifat umum dan mengandung makna filosofis. Sedangkan nilai-nilai kemanusiaan adalah nilai-nilai yang berlaku umum yang mengandung nilai-nilai hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi. Dalam konteks ini kebenaran dan nilai-nilai kemanusiaan yang secara yuridis formil diatur dalam peraturan perundang-undangan secara hierarkis.
Para pejuang muda mesti memiliki watak dan kepribadian yang kuat. Watak yang kuat tidak lepas dari serentetan pengalaman dari kehidupan, baik pada lingkungan pendidikan maupun pada lingkungan sosial tempat mereka berada. Dengan menimba segala pengalaman, dalam mempelajarinya akan menimbulkan pandangan yang luas dan corak berpikir yang matang secara otensitas. Dalam konteks inilah sikap independen harus dimiliki oleh mahasiswa baik secara individual maupun secara organisatoris/komunal. Dari sinilah nantinya akan melahirkan kebebasan berpikir.
Pengalaman hidup kaum muda sangat dipengaruhi oleh aktivitas organisasi yang digelutinya. Karena dengan berorganisasilah kemudian kaum muda mendapatkan ilmu dan pengalaman yang tidak mereka dapatkan di bangku kuliah. Ini sangat ditentukan oleh faktor intensitas aktivitasnya. Semakin banyak berbuat akan semakin banyak pula ilmu dan pengalaman yang mereka dapatkan.
Organisasi kepemudaan/kemahasiswaan merupakan produk dari korporatisme yang sukar melepaskan diri dari logika pembinaan, bahkan yang lebih ekstrim lagi mereka cendrung dikendalikan. Pembinaan ini kemudian menjadi suasana kondusif bagi berkembangnya budaya restu. Tanpa adanya restu sang pembina, maka segala sesuatu yang diperbuat organisasi tersebut akan kehilangan makna.
Dalam dinamikanya, buudaya restu mempunyai implikasi yang sangat jauh. Orientasi aktivitas kaum muda menjadi mendongkrak keatas, karena diataslah segala keputusan diambil walaupun masih dengan formalitas ketukan palu.
Sementara itu kekeuatan bawah hanya menjadi sekedar bunga-bunga demokrasi yang tak punya karakter sehingga forum pengambilan keputusan untuk meraih kekuasaan menjadi sebuah dinamika internal dalam perubahan struktural. Fungsinya hanya sekedar saksi dan legitimasi ketukan palu, yang sudah diputuskan sebelumnya (Anas Urbaningrum, 1997).
Karena kekuasaan cendrung menindas dan tidak adil, perlu menghubungkan diri dengan massa. Hal ini membutuhkan penempatan diri sebagai pejuang dengan berbagai tulisan dan tindakan sebagai pengayaan dari intelektual yang telah diasah. Maka menjadi sebuah keharusan, peran agama sebagai suatu keyakinan yang dipilih secara sadar untuk memberikan respon kepada problem dan kebutuhan masyarakat memiliki filter yang kuat.
Menurut Ali Syari'ati (Jalalludin Rahmat, 1981), menunjuk orang-orang yang bukan ilmuwan, bukan filosof, bukan teknolog tetapi sanggup membentuk kebudayaan dan peradaban, mereka itulah yang intelektual sejati atau ia menyebut sebagai Rausyanfikr. Kaum intelektual bukan sarjana yang hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati perguruan tingi dan menyandang gelar sarjana.
Mereka adalah orang-orang yang terpangggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, dan menawarkan alternatif pemecahan masalah. Seorang intelektual ialah orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan analitis dan normatif. Orang yang penuh semangat (heroik) dan mampu berbuat kreatif. (Penulis adalah Ketua Umum SMPT UMMY 1999-2000).

*) Tulisan ini telah dimuat pada Mingguan Independen Media Rakyat, Edisi 50 Tahun ke-4.

Tidak ada komentar: