Demokrasi merupakan sebuah sifat pemerintahan yang banyak dianut oleh negara-negara didunia saat ini. Namun demokrasi tampil dalam berbagai bentuk sesuai situasi, kondisi dan pengaruh gaya kepemimpinan serta konstitusi negara tersebut. Demokrasi tersebut juga mempunyai banyak muka diantaranya yaitu, demokrasi liberal, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan sebagainya.
Secara sederhana demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berada di tangan rakyat atau lebih tepatnya kedaulatan yang ditentukan oleh rakyat. Di negara-negara yang menganut paham ini, untuk menentukan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, dilakukan melalui suatu Pemilihan Umum (Pemilu) yang bersifat langsung, jujur dan adil.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan pemerintahan absolut yang mana pemerintahannya dipimpin oleh seorang raja. Karena kekuasaanya yang bersifat absolut tersebut maka raja akan punya ruang yang longgar atau memungkinkan untuk memerintah dengan sewenang-wenang. Kondisi ini membuat orang tidak punya kesempatan mempertanyakan dan mempersoalkan tentang negara, mengapa orang-orang tertentu bisa berkuasa sedangkan orang yang lainnya tunduk, apa dasar kekuasaan itu, dan lain sebagainya.
Tegasnya, bahwa pada kondisi seperti itu orang tidak mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan pikiran dan menyatakan pendapatnya secara bebas, walaupun secara historis tidak semuanya raja bersifat sewenang-wenang seperti yang disebutkan diatas. Setidaknya kita bisa lihat pada studi-studi tentang negara pada zaman dibangunnya peradaban manusia.
Pada zaman itu, ternyata masih ada raja-raja yang memerintah dengan baik hati. Salah satunya adalah dengan memberikan undang-undang yang menjamin hak-hak daripada warga negaranya. Raja tersebut adalah raja dari Babylonia yang bernama Chammurabi yang memerintah sekitar tahun 1800 SM yang terkenal mempersatukan negaranya yang semula terpecah belah, (Soehino, 1996 : 11).
Sementara itu, di Indonesia sendiri dalam perjalanan sejarah demokrasi, telah menerapkan berbagai bentuk demokrasi dalam beberapa periodesasi dan perubahan konstitusi. Dimulai dari pemberlakuan UUD 1945 pada awal kemerdekaan, UUD RIS 1949, UUDS 1950 serta kembali ke UUD 1945 (yang juga terjadi beberapa kali perubahan). Secara historis, perubahan tersebut, kemudian juga diikuti oleh terjadinya perubahan-perubahan sosial.
Perubahan sosial merupakan suatu proses yang kontinyu (berkelanjutan), dengan berbagai kontradiktif yang terdapat pada struktur-struktur sosial yang berbeda, apabila dilihat dalam jangka waktu berabad-abad. Hal ini pun mempunyai hubungan langsung dengan studi tentang stratifikasi sosial.
Dalam konteks stratifikasi sosial, merupakan suatu hal yang khas, bahwa kecendrungan memandang pekerjaan dalam pemerintah (dengan kedudukan yang tinggi sekalipun) sebagai suatu variabel yang tidak berdiri sendiri (dependent variable), umpamanya apabila kita meneliti distribusi pejabat-pejabat atas dasar asal-usul sosial. Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat) yang berfungsi memberikan pertimbangan cendrung tidak objektif dalam menilai layak atau tidak layaknya seseorang menduduki jabatannya. Ukurannnya bukan lagi kinerja, tapi lebih kepada ikatan emosional yang terbangun dalam selama menjadi tim sukses kepala daerah terpilih, sehingga hanya orang yang merupakan bagian dari tim sajalah yang akan mendapatkan posisi-posisi jabatan penting dalam pemerintahan walaupun tidak punya kapasitas dan kapabilatas terhadap jabatan tersebut.
Untuk maju kearah demokrasi, kita dihadapkan pada paradoks-paradoks yang membingungkan. Di satu pihak harus memusatkan dan meningkatkan kekuasaan untuk mengadakan rangka dasar peran-peran serta identifikasi sosial baru, tetapi bersamaan dengan itu harus mengadakan desentralilasi serta mengurangi kekuasaan dengan tujuan agar partisipasi lebih luas dalam hal mengambil keputusan yang juga mutlak diperlukan bagi perwujudan pemerintah demokratis menjadi mungkin.
Dengan memahami paradoks-paradoks demikian, kita akan menjadi mengerti, apa sebab suatu negara tak dapat berpindah secara lancar dan mudah, ke demokrasi hanya dengan membuat Undang-Undang Dasar baru serta memberi setiap orang hak untuk memilih. Malah setiap kali tercapai kemajuan kearah demokrasi, baik di Eropa maupun di Asia, senantiasa hal ini ditandai oleh krisis-krisis kekerasan, gejolak revolusioner serta pola-pola pembangunan yang tak seimbang.
Di negara-negara yang ekonominya masih terbelakang, pemerintah itu sesungguhnya merupakan salah satu faktor ekonomi yang terpenting. Oleh karena itu maka pejabat-pejabat pemerintah ikut menikmati gengsi memerintah, juga apabila kedudukan mereka rendah sekalipun, maka kesempatan-kesempatan untuk menduduki jabatan pemerintah dan untuk mempengaruhi pelaksanaan kekuasaan merupakan pokok-pokok rebutan yang penting, dalam arti sudah bersifat pribadi, yang merupakan ciri khas masyarakat-masyarakat dimana berorientasi kekerabatan.
Dalam implikasi yang lebih dalam lagi, yang terdapat pada masyarakat modern. Modernisasi sering diam-diam melemahkan bahkan sampai menghancurkan cara kehidupan tradisional dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat lokal. Itu pulalah yang menjadi sebab bagi timbulnya perlawanan kuat dari pihak kalangan paling diuntungkan oleh cara dan gaya hidup lama.
Persoalannnya kemudian adalah, nilai-nilai lokal yang mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus direkonstruksi. Hal ini menyeret kita kepada sesuatu yang dilematis ketika fenomena ini muncul pada daerah yang dihuni masyarakat yang beragam/pluralis, seperti halnya negara Indonesia yang dihuni oleh bermacam suku, budaya, agama dan etnis.
Pemerintahan sentralisasi akan mengahadapkan masyarakat atau warga negaranya, pada munculnya dan berkuasanya pemimpin yang otoriter, namun pemerintah federal akan menyeret masyarakat pada dis-integrasi bangsa. Bingkai negara kesatuan yang menjadikan desentralisasi dalam wujud otonomi daerah sebagai solusi merupakan sebuah kebijakan yang mampu mengakomodasi kepentingan daerah dalam konteks pembangunan.
Orde reformasi yang berlangsung lebih kurang 10 tahun ke belakang di negara Indonesia telah memunculkan prilaku-prilaku sosial baru pada lingkungan sosial maupun pada lingkungan pemerintahan. Masyarakat yang pada masa pemerintahan Orde Baru yang bersifat sentralistik, takut melakukan kritikan-kritikan atas kebijakan dan pelayanan pemerintah yang tidak baik, berubah menjadi masyarakat kritis yang terkadang cendrung destruktif dengan berbagai bentuk aksi-aksi untuk menumpahkan kekecewaan (cendrung emosional).
Dalam konteks stratifikasi sosial, merupakan suatu hal yang khas, bahwa kecendrungan memandang pekerjaan dalam pemerintah (dengan kedudukan yang tinggi sekalipun) sebagai suatu variabel yang tidak berdiri sendiri (dependent variable), umpamanya apabila kita meneliti distribusi pejabat-pejabat atas dasar asal-usul sosial. Sehingga Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat) yang berfungsi memberikan pertimbangan cendrung tidak objektif dalam menilai layak atau tidak layaknya seseorang menduduki jabatannya. Ukurannnya bukan lagi kinerja tapi lebih kepada primordialisme sempit.
Hal itu tidak terlepas dari sangat minimnya kualitas sumber daya manusia masyarakat Indonesia. Tentu ini juga tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang lebih banyak disebabkan oleh faktor ekonomi. Di beberapa daerah tertentu ini juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat lokal. Disisi yang lain demokrasi pendidikan melalui program dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang diharapkan dapat memberikan pendidikan secara gratis dengan sesungguhnya pun masih debatable (dalam perdebatan).
Dalam konteks demokrasi, hal diatas mengandung arti bahwa penerapan demokrasi baru berada pada tahap liberty (kebebasan), yang pada umumnya dianut dan dipahami oleh masyarakat tradisionalis yang cendrung memahami demokrasi secara sempit. Tetapi didalam masyarakat modernis yang sudah memahami demokrasi, prinsip egality (persamaan hak) dan fraternity (persaudaraan) menjadi dasar pertimbangan guna mengakomodir kepentingan seluruh masyarakat.
Otonomi daerah yang diperuntukkan bagi pemerintahan Kabupaten dan Kota mengandung makna bahwa daerah mempunyai kesempatan menggali dan memberdayakan potensi, baik Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki daerahnya. Dimana masyarakat melalui kepala daerahnya mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan membangun daerah dengan mengangkat kembali nilai-nilai dan budaya lokal yang ada di daerah tersebut.
Beranjak dari hal diatas, maka hal yang penting yang perlu kita lakukan adalah bahwa prinsip demokrasi harus berjalan sesuai dengan koridor yaitu mengedepankan pertimbangan pluralisme (keberagaman) dengan tidak mengenyampingkan keberadaan minoritas dan mampu menerima konsekwensi dari hak-hak mayoritas dengan paradigma Bhinneka Tunggal Ika yang secara intrinsik mengandung prinsip pluralisme/keberagaman.
Jika hal itu berjalan dengan baik, maka pelaksanaan otonomi daerah yang memperhatikan unsur pluralisme akan berjalan secara demokratis berdasarkan tiga prinsip demokrasi diatas. Dengan memahami prinsip-prinsip demokrasi tersebut maka pemerintah daerah perlu memberi ruang bagi tumbuhnya keberagaman. Ini akan meminimalisir bahaya rentannnya dis-integrasi dan sentimen kedaerahan secara sempit. (170709)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar