Dalam sistem hukum yang dianut negara Indonesia, ada beberapa upaya hukum, yang salah satunya adalah Yudicial Review atau hak untuk menguji undang-undang. Ini sering biasanya dilakukan terhadap produk hukum yang dikeluarkan oleh organ negara dimana produk hukum yang ditetapkan harus disesuaikan dengan undang-undang yang lebih tinggi, dalam arti kata bahwa setiap produk hukum tidak boleh bertentangan dengan produk hukum yang diatasnya.
Disiplin hukum telah menggaris bawahi 4 (empat) substaat atau unsur inharen dari negara hukum : 1. Azas Legalitas, 2. Pemisahan kekuasaan, 3. Jaminan hak azazi manusia, 4. Pengawasan atau wewenang menguji oleh Hakim (Judicial Review) terhadap tindakan penguasa. Bila wewenang menguji berfungsi sebagai peluang bagi para yustisia belen terhadap masalah tidak sahnya suatu tindakan penguasa untuk diuji, maka azas legalitas mengandung perintah bahwa setiap tindakan penguasa untuk diuji, maka azas legalitas mengandung perintah bahwa setiap tindakan penguasa harus bersumber pada ketentuan perundang-undangan formil atau Undang-Undang Dasar. Norma-normanya harus dirumuskan secara umum, sedangkan pembentukannya atas dasar kerjasama dengan DPR dan demi kepastian hukum, pengumumannya harus secara sempurna.
Jadi bila azas legalitas di satu pihak merupakan wewenang penguasa, maka di pihak lain azas tersebut justru membatasi setiap tindakannya.
Di negeri Belanda, wewenang menguji oleh Hakim baru diterima setelah HIR dalam tahun 1915 mengemukakan ajaran "Obiectum Litis", yang mengandung arti bahwa untuk dapat menerapkan pasal 2 RO yang mengatur tentang wewenang Hakim Perdata cukup bila penggugat menuntut agar ia "dilindungi dalam hak", bukan hubungan hukum yang sifatnya perdata antara kedua belah pihak.
Dengan demikian maka yang menentukan gugatan bukan saja Fundamentum Petendi (dasar atau sifat daripada hubungan hukum), melainkan juga obiectum litis (objek dari pada sengketa).
Praktis ajaran tersebut mengandung arti bahwa untuk Yurisprudensi Hakim Perdata cukup bila penggugat menuntut bahwa "penguasa telah melakukan perbuatan melanggar hukum".
Kebebasan Hukum Yang Tidak Terbatas
Sebelum tahun 1915 merupakan pendapat umum bahwa penguasa seyogyanya diberi kebebasan hukum seluas mungkin dalam memelihara, membina dan melindungi kepentingan umum yang menjadi tanggung jawabnya menurut Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar tanpa melinatkan Hakim yang hanya berfungsi dalam bidang perdata dan pidana, selain itu penguasa tunduk pengawasan atasannya yang dapat saja membatalkan tindakannya pada tingkat banding.
Pendapat tersebut bisa bertahan selama tugas negara hanya berkisar pada menjamin kemerdekaan, hak milik perorangan atau ketertiban umum (negara polisi atau Nachtwakerstaat), akan tetapi oleh karena perkembangannya, negara bukan hanya mengkodifisir tetapi juga memodifisir, bukan hanya mempertahankan akan tetapi juga mengintervensi dan mendistribusi (negara kemakmuran atau Welfarstaat), maka sejajar dengan perkembangan tersebut tugas pemerintah menjadi meluas dan tidak terbatas. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana batas-batas dari wewenang tersebut?.
Dalam pengawasan demokrasi oleh pihak DPR dalam memberi perlindungan hukum kepada rakyat terhadap penguasa kurang memadai, sedangkan keberatan atau banding administratif tidak menjadi objektivitas pemeriksaan. Gap atau celah dalam perlindungan hukum rakyat terhadap penguasa yang kian berkuasa karena ketidakhadiran hakim administratif ditampung oleh Hakim Perdata yang menguji tindakan penguasa pada pasal 1365 BW.
Titik tolak dari wewenang menguji tersebut adalah bahwa hukum perdata merupakan "Hukum Umum" yang dapat saja diterapkan pada penguasa selama hukum publik tidak menentukan lain. Suatu kriteria yang sesungguhnya memungkinkan rakyat menggugat negara atas tindakan organnya yang merugikannya. semula memang dibedakan antara negara sebagai "badan hukum khusus" yang hanya dapat digugat karena dianggap setingkat dengan rakyat biasa dalam hubungan kemasyrakatan, negara sebagai "Pengusa Umum" yang tidak dapat digugat karena penguasa dalam menjalankan tugas publik tidak mungkin melanggar hukum.
Tidak disangkal bahwa diilhaminya wewenang menguji yang terbatas itu adalah tidak lain karena harapan bahwa sistim peradilan administrasi sesegera mungkin akan dapat dibentuk, akan tetapi karena hakim administrasi yang diharapkan itu tidak kunjung datang, maka untuk mengisi kekosongan hukum itu, Hakim Perdata telah mengambil alih wewenangnya melalui ajaran obiectim litis tadi.
UU Nomor 14 Tahun 1970
Tatkala rancangan undang-undang tersebut dibicarakan toetsingsrecht atau judicial Review pernah disinggung dalam hubungannya dengan Peradilan Tata Usaha Negara, melalui perbandingan sistim hukum Prancis, yang menolak Judicial Review, kemudian sistim Amerika yang sangat luas karena meliputi pula judicial review terhadap Legislative Act, maka mengenai hak uji Mahkamah Agung, pemerintah menjelaskan demikian.
Pada umumnya dalam hal menguji sesuatu perkara dimuka sidang pengadilan, Hakim berhak untuk menguji secara formil maupun materil mengenai sah tidaknya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila Hakim berpendapat bahwa suatu peraturan atau bertentangan tidaknya dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila Hakim berpendapat bahwa suatu peraturan adalah tidak sah maka ia dengan mengenyampingkan peraturan yang bersangkutan akan mengadili berdasar kan hukum dan keadilan. Ini berarti bahwa peraturan itu tidak dapat dibatalkan oleh Hakim, tetapi dianggap tidak mengikat dalam kasus yang dihadapi.
Sebaliknya MA menggunakan hak ujinya dan ternyata bahwa peraturan itu menjadi batal demi hukum dan tidak berlaku lagi secara umum. Dalam menggunakan hak uji, MA dapat secara tegas menyatakan bahwa peraturan itu adalah tidak sah. Putusan tidak sah itu mengandung perintah agar peraturan yang bersangkutan dicabut oleh instansi yang mengeluarkannya.
Dua Bentuk Judicial Review
Dengan terbentuknya PTUN, maka perlu diperhatikan bahwa wewenang yang diserahi pada Hakim administrasi terbatas pada bidang-bidang tertentu, misalnya kepegawaian atau hubungan hukum sosial ekonomi. Yang menentukan disini adalah hubungan hukum yang spesifik (fundamentum petendi) antara penguasa dengan rakyat dituangkan dalam bentuk penetapan. Bila tidak demikian halnya, maka berdasarkan obiectum litis perlindungan hukum terhadap penguasa akan ditampung oleh Hakim perdata. Jadi meskipun telah ada PTUN, Hakim Perdata senantiasa berwenang mengadili perbuatan melanggar hukum oleh penguasa.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa judicial review terhadap Executive Act harus melalui suatu proses, yang berpuncak pada tingkat Kasasi. Bila pada tingkat pertama dan tingkat banding, Hakim dalam putusannya hanya diperkenankan menyatakan bahwa peraturan yang bersangkutan "tidak mengikat", "tidak menerapkan", "menyisihkan", atau "melanggar hukum", maka MA selain pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas "dapat" memutus bahwa peraturan yang bersangkutan adalah "tidak sah" yang sebagaimana disinggung diatas mengandung perintah untuk dicabut atau dihapus, wewenang mana tidak dipercayakan pada Hakim yang belum punya kemampuan teruji. (160504)