Verreiswind Marwan Boestami
"Bekerja Dengan Baik Tuk Masa Depan Yang Lebih Baik", "Bekerja Bebas dan Ikhlas, Tuk Pikiran Yang Lebih Cerdas".
Selasa, 10 Mei 2011
Selasa, 04 Agustus 2009
Nilai-Nilai Demokrasi
Terlepas dari batas-batas demokrasi sering dianggap sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan masyarakat atau para wakil-wakil rakyat atau mayoritas para pemilih. Jadi tanggapan pertama bahwa demokrasi bebas dari pada nilai-nilai, yaitu secara logika dan demokrasi adalah sebagai sistim dan tidak pula menghasilkan nilai-nilai dari hasil yang hendak dicapai. Keraguan yang ada pada mulanya timbul tentang kenetralan demokrasi itu sendiri adalah sebagai berikut :
"Dapatkah suatu sistim pembuat kebijaksanaan benar-benar dan hanya bersifat alat saja, dalam hal ini secara teknis dapat kita nyatakan bahwa alat yang dapat dipergunakan untuk maksud-maksud tertentu dan semua alat yang dipakai untuk mencapai tujuan."
Salah satu implikasi dari pada demokrasi yang hampir tidak dapat dilaksanakan, yang timbul dari sistim itu adalah bahwa pemerintahan oleh rakyat dan ini bukan hanya merupakan sebahagian dari pada definisi demokrasi sebagaimana pendapat Lincoln yang terkenal. Implikasi itu bukan hanya merupakan dan bersifat logika belaka, mungkin dapat dibayangkan bahwa suatu negara demokrasi dengan suatu mayoritas mencurahkan tenaganya untuk suatu tujuan yang lain dari pada kepentingan warga negaranya dan bukanlah kepentingan penduduk.
Hal ini tidak membawa terlalu jauh untuk memikirkan tetapi hanya memberikan tekanan-tekanan atas rakyat. Pada waktu Aristoteles membicarakan tentang negara dan menyatakan, bahwa tujuan negara adalah meningkatkan tujuan yang baik, adapun yang menjadi nilai dari pada demokrasi itu antara lain :
1. Menyelesaikan pertikaian secara sukarela dan damai.
Kehidupan setiap masyarakat selalu mengundang pertikaian yang tidak pernah henti-hentinya dalam soal kehidupan dan kepentingan serta pendapat, baik yang disembunyikan ataupun yang dilakukan secara terbuka. Dalam sistim pemerintahan demokrasi satu-satunya sistim yang mengakui sahnya empiris politik dari pertikaian yang ada dan mengatur penyelesaian secara damai melalui perundingan sebagai penyelesaian dari alternatif dan berdasarkan dekrit.
Setiap teori politik yang ada memberikan penyelesaian secara damai dan juga dilakukan secara kompromi untuk ketertiban umum dalam rangka mengambil kebijaksanaan yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat (DPR) untuk membuat Undang-Undang dalam menjaga pertikaian dan kesalah pahaman, sehingga dengan adanya Undang-Undang tersebut semua yang bertikai dan berselisih atau diikat dengan peraturan dan Undang-Undang merupakan alat yang harus dipatuhi karena Undang-Undang dibuat oleh wakil-wakil rakyat melalui kompromi dan musyawarah.
Inilah yang merupakan cici-ciri khas dari pada demokrasi yang akan dihargai tinggi oleh setiap orang-orang yang lebih suka kepada penyelesaian secara sukarela dari pda paksaan yang bersifat diktator.
2.Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah.
Hal ini amat erat kaitannya dengan nilai yang pertama, sehingga dapat dianggap sebagai penerapan nilai itu terhadap situasi khusus dari pada nilai modern sekarang. Nilai ini lebih besarnya pengaruhnya bila dibandingkan dengan masa lalu yang statis, dengan arti kata nilai itu lebih dapat diterima sebab umat manusia telah dipengaruhi oleh perubahan sosial dalam masyarakat dan juga dalam masalah politik.
Dalam tubuh demokrasi itu dapat kita lihat banyak sekali perubahan sosial yang pasti akan timbul dan terjadi akibat dari pada kemajuan teknologi, umpamanya metode politik demokrasi yang mempunyai kepekaan terhadap pendapat umum, semua ini dapat mempengaruhi perubahan-perubahan politik. Dalam dunia sekarang ini dapat dilihat perlu adanya penyaluran perubahan-perubahan secara damai, walaupun kadang-kadang terdapat kerinduan pada masa lalu atau kepada masyarakat yang lebih statis.
Sekarang ini hanya sedikit kita dengar adanya argumentasi yang menentang nilai-nilai harmonis dalam masyarakat, baik perubahan itu terjadi karena perubahan alam maupun karena kemajuan teknologi yang sangat mempengaruhi nilai-nilai demokrasi yang ada, dimana perubahan struktur sosial masyarakat yang dipengaruhi kemajuan teknologi akan membawa kepada alam kenyataan.
Akibat kepekaan masyarakat dalam perubahan sosial sehingga terjadilah perubahan dalam kebijaksanaan. Kebijaksanaan mana yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama dengan wakil-wakil rakyat yang ada dalam parlemen, sebab pemerintah masih mempertahankan siatuasi dan kondisi yang lama (status quo), hal ini tidak akan menimbulkan perdamaian dan keadilan yang merupakan ide demokrasi. Jadi jelaslah bahwa menjamin terjadinya perubahan-perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah dan merupakan nilai yang ideal dalam sistim demokrasi sekarang ini yang selalu didambakan masyarakat.
3. Penggantian penguasa secara teratur.
Untuk menguasai dalam sistim demokrasi, penggantian penguasa perlu dilaksanakan dengan teratur demi untuk menjaga ketertiban dan keamanan dalam masyarakat serta memberikan haknya kepada rakyat untuk memilih orang-orang yang mereka sukai dan mampu atau cakap menjadi pemimpin mereka dalam negara maupun dalam masyarakat.
Demokrasi tidak hanya mengendalikan pertentangan dan perubahan sosial, tetapi sekaligus juga menyelesaikan masalah politik yang jauh lebih ruwet dari pada pelaksanaan politik itu sendiri, mewariskan kepada anak cucu, memilih orang dalam kalangan elit dan menggulingkan penguasa dengan jalan kudeta, sekarang hal ini tidak dapat lagi diterima sebagai suatu hal yang wajar dalam membuktikan kesalah pahamannya dan menimbulkan kesukaran-kesukaran yang telah tampak dalam sejarah.
Sistim ini hanya terdapat dalam sistim demokrasi sebagaimana yang dikatakan dalam teori Social Contract (Miriam Budiardjo, 1970:96) yang antara lain :
"Pada mulanya manusia itu berada dalam keadaan alamiah, tetapi karena dorongan hawa nafsu dimana sekelompok manusia menginjak-injak hak asasi mereka sehingga mengakbatkan kerusuhan dalam masyarakat. Kemudian mereka sadar lantas mereka membuat kesepakatan yang mereka serahkan kepada seseorang atau sekelompok orang dimana orang tersebut harus berbuat dan bertindak sesuai dengan isi dari pada perjanjian sosial kontrak tersebut."
Menurut Thomas Hobbes :
Untuk terselenggaranya perdamaian, maka manusia-manusia lalu mengadakan suatu perjanjian yang disebut perjanjian masyarakat, untuk membentuk suatu masyarakat selanjutnya negara. Dimana setiap orang di dalam negara itu dapat bekerja untuk memiliki sesuatu dan tidak selalu terancam jiwanya. Perjanjian masyarakat itu bersifat langsung. Artinya orang-orang yang menyelenggarakan perjanjian itu langsung menyerahkan atau melepaskan hakya kepada Raja, tidak melalui masyarakat. Raja tidak merupakan pihak dalam perjanjian itu. Dengan demikian Raja tidak terikat oleh perjanjian.
Sesuai dengan hal diatas John Locke juga mengemukakan pendapatnya tentang teori perjanjian masyarakat, yaitu :
Untuk menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia, manusia lalu menyelenggarakan perjanjian masyarakat untuk membentuk masyarakat selanjutnya negara. Dalam perjanjian itu orang-orang menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada masyarakat tetapi tidak semuanya. Masyarakat ini kemudian menunjuk seorang penguasa, dan kepada penguasa ini kemudian diberikan wewenang untuk menjaga dan menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia tadi. Tetapi di dalam menjalankan tugasnya ini kekuasaan penguasa adalah terbatas, yang membatasi adalah hak-hak asasi tersebut, artinya didalam menjalankan kekuasaanya itu penguasa tidak boleh melanggar hak-hak asasi.
Sedangkan J.J. Rousseau berpendapat :
kesatuan, yang membela dan melindungi kekuasaan bersama disamping kekuasaan pribadi dan milik dari setiap orang, sehingga karena itu semuanya dapat bersatu, akan tetapi meskipun demikianYang merupakan hal yang pokok dari perjanjian masyarakat adalah, menemukan suatu bentuk masing-masing orang tetap mematuhi dirinya sendiri, sehingga orang tetap merdeka dan bebas seperti sedia kala.
4. Menggunakan paksaan sekecil mungkin
Dalam sistim demokrasi menggunakan paksaan dalam arena politik juga timbul, walaupun kita tidak perlu mencoba mengukur bagaimana jenis dan jumlah paksaan tersebut yang dilaksanakan oleh penguasa, sehingga termometer politik selalu bekerja walaupun sebahagian besar orang yang menyetujui dan adapula sebahagian kecil orang yang dipaksakan untuk mematuhinya dan menerima serta melaksanakan kebijaksanaan politik tersebut.
Inilah argumentasi yang paling lemah dan banyak tergantung kepada adanya kebebasan politik dan bagaimana cara putusan politik itu diambil, adalah berguna sekali untuk mempunyai lembaga keselamatan karena dengan begitu kita dapat menyalurkan aspirasi yang terkumpul dan membantu perdebatan dan permainan politik walaupun pada akhirnya kalah dalam pemungutan suara.
5. Nilai keanekaragaman (pluralisme) Pada mulanya orang melihat bahwa keanekaragaman selalu ada dalam masyarakat walaupun jumlahnya itu tidak sebanyak jumlah orang yang terdapat dalam masyarakat. Maka disini diakui bahwa keanekaragaman dianggap sah dan kalau terdapat pendapat dan kepentingan yang berlainan harus diperhatikan aspek psikologis/kejiwaan manusia, dimana manusia itu akan cepat bosan.
Dalam hal ini John Locke (Miriam Budiardjo, 1970:236) pernah berkata :
Bukan perbedaan-perbedaan pendapat yang tidak dapat dielakkan, tetapi tidak mau kompromi kepada orang lain yang mempunyai pendapat yang berbeda sehingga menimbulkan kekacauan dan peperangan yang telah terjadi dengan keistimewaan dan mengatasnamakan agama.
Akhirnya dapat disimpulkan dimana kita kembali kepada pengetahuan umum, bahwa kemajuan itu dapat ditimbulkan oleh keanekaragaman yang terdapat dalam masyarakat.
Jadi demokrasi tidak menghambat kemajuan dalam segala bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya, tetapi yang penting bagaimana pengaruh penguasa negara untuk menjalankan demokrasi dan menilai keanekaragaman dalam masyarakat tersebut.
6. Menegakkan keadilan dalam masyarakat
Dimana keadilan itu telah dihargai setinggi-tingginya oleh para ahli falsafah politik sebagai suatu nilai yang harus ditegakkan dalam masyarakat, menegakkan keadilan sering dianggap sebagai inti moralitas politik dalam demokrasi.
Demokrasi adalah suatu sistim yang terbaik untuk ditegakkan dalam masyarakat dan untuk menegakkan keadilan itu harus berpedoman kepada hal-hal sebagai berikut :
- Keadilan yang terbaik yang diharapkan dalam demokrasi, bahwa yang tidak adil itu diperhatikan dan kalau mungkin diperbaiki dan untuk selanjutnya dielakkan sebelum terjadi.
- Kemungkinan terjadinya ketidak adilan dalam negara demokrasi jauh lebih kecil dari pada negara yang kebebasan politiknya dan tidak adanya jaminan politik terhadap rakyat dan masyarakat dalam suatu negara. Demokrasi memberikan kesempatan kepada setiap kelompok yang berkepentingan mempunyai hak untuk mengajukan wakil-wakilnya dalam parlemen, dengan demikian dalam pembuatan Undang-Undang semua warga negara mempunyai hak dan saham yang sama tanpa terkecuali. Sehingga kedaulatan rakyat tidak terabaikan lewat berbagai rekayasa dalam bentuk perumusan norma hukum di bidang ketatanegaraan agar posisi rakyat tidak lemah jika berhadapan dengan kekuasaan negara (Yusril Ihza Mahendra, 1996:57).
- Demokrasi menyangkut kompromi dan harmoni politik dengan jalan menyelesaikan tuntutan yang saling bertentangan satu sama lainnya, hal demikian sudah merupakan penanaman rasa keadilan yang bersifat relatif.
Jadi keadilan merupakan nilai yang mutlak harus ada dalam setiap demokrasi, sebab tanpa keadilan sistim demokrasi itu tidak akan dapat mewujudkan cita-cita negara yang bersangkutan. Walaupun dalam prakteknya demokrasi selalu menimbulkan pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, akibatnya memperluas jumlah orang yang harus diliputi keadilan dan memperkecil jumlah orang yang terkena ketidak adilan. Demokrasi dan prinsip mayoritas terdapat dalam kepercayaan akan keadilan yang mutlak dari rakyat, pada akhirnya hal ini dapat menjadi pelopor terbaik yang dapat diberikan kepada orang-orang yang pada suatu ketika diperlukan oleh manusia lain.
Sebelum mempertahankan demkrasi atas dasar nilai-nilai kebebasan perlu diperhatikan bagaimana caranya manusia itu mendapat kebebeasan baik dalam hukum maupun politik mempengaruhi kebebasan yang berhubungan dengan keperluan dan kebutuhan insan yang merdeka. Sebagaimana sejarah HAM, usaha untuk menegakkan demokrasi di satu pihak dan kemerdekaan di pihak lain.
Jadi kebebasan politik merupakan tiang dalam sistim demokrasi, sebab tanpa adanya kebebasan dalam demokrasi mengakibatkan ciri-ciri demokrasi akan hilang dan kabur akhirnya akan sampai kepada sistim diktator semata-mata, dimana hal ini sangat bertentangan dengan sistim demokrasi. Sebab dalam negara demokrasi perlu diperhatikan dan diajarkan masalah politik yang dianggap baik, ini berarti pemerintah telah mengekang kemajuan dari pada rakyat dalam masalah kebebasan.
Yang penting diperhatikan adalah sampai dimana kebebasan politik itu dapat dilaksanakan oleh rakyat, hal ini untuk menghindari kesalahpahaman dari pada warga masyarakat. Jadi penting pembatasannya, sejauh mana masyarakat itu boleh berpolitik, hal ini tergantung dari pada situasi dan kondisi yang berlaku dalam masyarakat negara tersebut.
Senin, 03 Agustus 2009
Arti dan Tujuan Demokrasi
Demokrasi berasal dari dua perkataan yaitu : demos yang berarti rakyat, dan cratos yang berarti pemerintahan. Dengan demikian dilihat dari arti kata, maka demokrasi adalah pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Menurut Aristoteles (Soehino, 1996:27), negara dimana pemerintahannya dipegang oleh rakyat, ini yang dimaksud bahwa yang memegang pemerintahan itu pda prinsipnya adalah rakyat itu sendiri, setidak-tidaknya oleh segolongan besar daripada rakyat. Ini dibedakan berdasarkan sifatnya, yaitu:
- Negara dimana pemerintahannya dipegang oleh rakyat dan sifat pemerintahannya adalah baik, karena memperhatikan kepentingan umum atau rakyat, negara ini disebut Republik atau Republik Konstitusional.
- Negara dimana pemerintahannya dipegang oleh rakyat dan sifat pemerintahannya itu adalah jelek, karena pemerintahannya itu hanya ditujukan untuk kepentingan si pemegang kekuasaan itu saja.
Walau ditinjau dari arti kata, hal itu kelihatan sangat sederhana sekali, akan tetapi sukar untuk memahami maksuda dan tujuan dari demokrasi itu sendiri karena banyak variasi-variasi yang dipergunakan oleh negara-negara yang memakai sistim demokrasi tersebut. Dan juga sukar untuk memberikan batasan-batasan yang dapat diterima oleh semua pihak. Hal ini disebabkan karena karena pengertian demokrasi itu akan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan negara, bangsa dan masyarakat dari negara yang memakai sistim demokrasi itu.
Apabila demokrasi seperti apa yang dikemukakan diatas diberi arti pemerintahan dari rakyat, maka hal ini mengandung arti bahwa yang berjumlah lebih banyak memerintah orang yang jumlahnya lebih kecil, hal yang demikian tidak mungkin terjadi, bahkan dalam kenyataan kebalikannya terjadi, yang berjumlah sedikit memerintah sedangkan yang berjumlah banyak itu yang diperintah.
Sehubungan dengan hal itu J.J.Rousseau (S.M. Amin : 1976:12) mengemukakan pendapatnya, yaitu : "Kalau dipegang arti kata seperti yang diartikan umum maka demokrasi yang sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada. Hal ini berlawanan dengan kodrat alam, maksudnya yang jumlah terbesar memerintah sedangkan yang jumlahnya lebih kecil diperintah."
Dari uraian itu maka jelaslah bahwa sukar untuk mengadakan pembatasan mengenai demokrasi itu sendiri. Kalau kita perhatikan negara-negara yang ada di dunia sekarang ini mendasarkan diri atas azas demokrasi, akan tetapi yang dilaksanakan tidak ada yang berhubungan dengan demokrasi itu sendiri.
Dalam perkembangan demokrasi, di dunia ini mempunyai bermacam-macam prediket seperti : Demokrasi Sosial, Demokrasi Liberal, Demokrasi Rakyat. Di Indonesia sendiri setelah meletus G 30 S/PKI mempergunakan sistim demokrasi Pancasila.
Adapun sesbabnya sulit memberikan batasan-batasan dari demokrasi itu sendiri, hal ini disebabkan adanya dua pengertian dari demokrasi, antara lain dilihat dari sudut formil demokrasi dilaksanakan secara teori, sedangkan dilihat dari sudut materil demokrasi dilaksanakan secara praktis.
Dari kedua pengertian demokrasi diatas, yang pertama mempunyai arti yang fundamental, sedangkan yang kedua pada umumnya terdapat banyak persamaan dari pada perbedaan dalam prakteknya.
Perbedaan fundamental dalam pelaksanaan demokrasi pada negara-negara terletak pada demokrasi dalam arti teori, seperti ternyata dalam sejarah perkembangan demokrasi yang sampai sekarang masih tetap berlaku dan dilaksanakan oleh negara-negara yang bersangkutan, sedangkan ditinjau dari sudut materinya demokrasi ada yang didasarkan pada kemerdekaan dan kemajuan sosial ekonomi dalam masyarakat.
Pelaksanaan demokrasi tidak sama antara negara yang satu dengan negara yang lain, hal ini dapat dilihat dari dalam konstitusi yang ada di dunia ini. Dalam konstitusi tersebut kita dapat melihat dianutnya bermacam-macam sistim ketatanegaraan seperti antara lain : Sistim Parlementer, Sistim Diktator dan Sistim Pemerintahan Campuran. Dan menurut sistim tersebut akan melahirkan bentuk-bentuk negara antara lain : Republik Federal, Kerajaan dan lain-lain yang pada azasnya semua bentuk berdasarkan dari pada demokrasi.
Demokrasi berdasarkan kemerdekaan dan persamaan, hal ini dapat kita lihat dalam sejarah faham kemerdekaan dan persamaan dalam kehidupan ketatanegaraan yang merupakan reaksi terhadap faham absolutisme, dimana suatu faham kekuasaan negara secara mutlak berada dalam tangan seseorang atau suatu badan, sehingga keadaan yang demikian akan menimbulkan perbedaan yang menyolok antara golongan yang berkuasa semata-mata untuk kepentingan golongan dan pribadi.
Berdasarkan faham kemerdekaan diatas, Emery Reeves dalam bukunya "Demokrasi Manifesto", mengemukakan tentang liberal sebagai berikut :
"Paham politik telah mencoba cita-cita kemerdekaan kehidupan sosial ialah liberalisme, dimana liberalisme itu merupakan intisari program yang ada pada akhir abad ke-18, menarik dengan serempak kekuasaan yang paling berpengaruh. Kemudian anasir-anasir progresif dari susunan negara yang demokratis dalam partai politik yang bertujuan menyusun negara dan kehidupan ekonomi berdasarkan kemerdekaan perseorangan serta menjamin kemerdekaan bangsa-bangsa".
Dengan menggunakan landasan berpikir diatas dapatlah dikatakan bahwa cita-cita kemerdekaan adalah merupakan cita-cita yang baik di lapangan politik, sosial dan ekonomi. Akan tetapi seperti yang kita ketahui bahwa tafsiran serta pengertian faham tersebut diatas bermacam-macam, oleh sebab itu dapat dimengerti bahwa faham tersebut akan menimbulkan kekacauan yang besar dari pada cita-cita kemerdekaan itu sendiri dalam arti yang semurni-murninya.
Faham kemerdekaan itu mempunyai bermacam-macam perwujudan antara lain :
- Kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat serta menganut keyakinan sendiri.
- Kemerdekaan untuk berkumpul dan bersidang dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan bersama.
- Kemerdekaan untuk mengatur kehidupan sendiri yang layak bagi kemanusiaan.
Kemerdekaan dan persamaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Oleh sebab itu dalam membicarakan kemerdekaan mau tidak mau kita harus membicarakan persamaan. Kemerdekaan tanpa persamaan sulit untuk dipikirkan tetapi persamaan itu juga timbul persoalan apakah persamaan yang benar itu ada dan apakah persamaan yang mutlak antara manusia yang satu dengan manusia yang lain di dunia ini?
Sebagai jawaban dari problema diatas dapat dikemukakan dimana persamaan antara manusia di dunia atau bangsa-bangsa di dunia dan antara golongan pada azasnya bertentangan antara hakekat dan kodrat. Maka persamaan yang demikian tidak pernah ada dari dulu sampai sekarang dan itu pulalah yang menyebabkan bahwa kemerdekaan yang hakiki dan sempurna akan mewujudkan sebaliknya yang akan terjadi dari setiap jenis kemerdekaan itu. Mungkin semua orang akan berharap agar kedua cita-cita diatas dapat terlaksana secara mutlak diatas dunia ini.
Ternyata dengan dianutnya faham kemerdekaan mempunyai pengaruh di bidang politik, sosial, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya. Hal ini juga berpengaruh dari seseorang atau kelompok orang yang mempunyai kedudukan yang kuat.
Jadi dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa struktur demokrasi juga dapat dipengaruhi oleh struktur ekonomi masyarakat negara yang menganut sistim tersebut, sehingga dalam masyarakat akan timbul golongan yang disebut golongan yang berpunya (borjuis) dan golongan yang tidak berpunya (proletar), dimana golongan yang pertama ini akan menentukan tingkat ekonomi daripada golongan yang kedua. Sehingga kebebasan untuk bertindak akan tergantung kepada golongan yang pertama, akibatnya kedudukan ekonomi dalam masyarakat tidak akan terlaksana secara adil.
Dengan demikian demokrasi tersebut tidak akan jalan, dan apa yang di dambakan hanya merupakan khayalan belaka atau dengan kata lain bahwa demokrasi merupakan suatu hal yang utopis. Sebab pada prinsipnya kemerdekaan hanya dapat dilaksanakan dan dirasakan bagi mereka yang memegang peranan dalam bidang ekonomi saja, sedangkan bagi mereka yang termasuk golongan yang kedua yang hidupnya penuh ketergantungan pada golongan yang pertama tidak akan merasakan nikmatnya kemerdekaan itu.
Disamping itu mereka hanya merupakan objek dalam pelaksanaan demokrasi tersebut. Oleh karena itu akan terjadi pergeseran nilai-nilai demokrasi itu sendiri, maka kurangnya kesadaran dalam menentukan kewajiban serta hak sebagai seorang warga negara.
Selasa, 28 Juli 2009
Judicial Review : Sebuah Upaya Hukum
Dalam sistem hukum yang dianut negara Indonesia, ada beberapa upaya hukum, yang salah satunya adalah Yudicial Review atau hak untuk menguji undang-undang. Ini sering biasanya dilakukan terhadap produk hukum yang dikeluarkan oleh organ negara dimana produk hukum yang ditetapkan harus disesuaikan dengan undang-undang yang lebih tinggi, dalam arti kata bahwa setiap produk hukum tidak boleh bertentangan dengan produk hukum yang diatasnya.
Disiplin hukum telah menggaris bawahi 4 (empat) substaat atau unsur inharen dari negara hukum : 1. Azas Legalitas, 2. Pemisahan kekuasaan, 3. Jaminan hak azazi manusia, 4. Pengawasan atau wewenang menguji oleh Hakim (Judicial Review) terhadap tindakan penguasa. Bila wewenang menguji berfungsi sebagai peluang bagi para yustisia belen terhadap masalah tidak sahnya suatu tindakan penguasa untuk diuji, maka azas legalitas mengandung perintah bahwa setiap tindakan penguasa untuk diuji, maka azas legalitas mengandung perintah bahwa setiap tindakan penguasa harus bersumber pada ketentuan perundang-undangan formil atau Undang-Undang Dasar. Norma-normanya harus dirumuskan secara umum, sedangkan pembentukannya atas dasar kerjasama dengan DPR dan demi kepastian hukum, pengumumannya harus secara sempurna.
Jadi bila azas legalitas di satu pihak merupakan wewenang penguasa, maka di pihak lain azas tersebut justru membatasi setiap tindakannya.
Di negeri Belanda, wewenang menguji oleh Hakim baru diterima setelah HIR dalam tahun 1915 mengemukakan ajaran "Obiectum Litis", yang mengandung arti bahwa untuk dapat menerapkan pasal 2 RO yang mengatur tentang wewenang Hakim Perdata cukup bila penggugat menuntut agar ia "dilindungi dalam hak", bukan hubungan hukum yang sifatnya perdata antara kedua belah pihak.
Dengan demikian maka yang menentukan gugatan bukan saja Fundamentum Petendi (dasar atau sifat daripada hubungan hukum), melainkan juga obiectum litis (objek dari pada sengketa).
Praktis ajaran tersebut mengandung arti bahwa untuk Yurisprudensi Hakim Perdata cukup bila penggugat menuntut bahwa "penguasa telah melakukan perbuatan melanggar hukum".
Kebebasan Hukum Yang Tidak Terbatas
Sebelum tahun 1915 merupakan pendapat umum bahwa penguasa seyogyanya diberi kebebasan hukum seluas mungkin dalam memelihara, membina dan melindungi kepentingan umum yang menjadi tanggung jawabnya menurut Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar tanpa melinatkan Hakim yang hanya berfungsi dalam bidang perdata dan pidana, selain itu penguasa tunduk pengawasan atasannya yang dapat saja membatalkan tindakannya pada tingkat banding.
Pendapat tersebut bisa bertahan selama tugas negara hanya berkisar pada menjamin kemerdekaan, hak milik perorangan atau ketertiban umum (negara polisi atau Nachtwakerstaat), akan tetapi oleh karena perkembangannya, negara bukan hanya mengkodifisir tetapi juga memodifisir, bukan hanya mempertahankan akan tetapi juga mengintervensi dan mendistribusi (negara kemakmuran atau Welfarstaat), maka sejajar dengan perkembangan tersebut tugas pemerintah menjadi meluas dan tidak terbatas. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana batas-batas dari wewenang tersebut?.
Dalam pengawasan demokrasi oleh pihak DPR dalam memberi perlindungan hukum kepada rakyat terhadap penguasa kurang memadai, sedangkan keberatan atau banding administratif tidak menjadi objektivitas pemeriksaan. Gap atau celah dalam perlindungan hukum rakyat terhadap penguasa yang kian berkuasa karena ketidakhadiran hakim administratif ditampung oleh Hakim Perdata yang menguji tindakan penguasa pada pasal 1365 BW.
Titik tolak dari wewenang menguji tersebut adalah bahwa hukum perdata merupakan "Hukum Umum" yang dapat saja diterapkan pada penguasa selama hukum publik tidak menentukan lain. Suatu kriteria yang sesungguhnya memungkinkan rakyat menggugat negara atas tindakan organnya yang merugikannya. semula memang dibedakan antara negara sebagai "badan hukum khusus" yang hanya dapat digugat karena dianggap setingkat dengan rakyat biasa dalam hubungan kemasyrakatan, negara sebagai "Pengusa Umum" yang tidak dapat digugat karena penguasa dalam menjalankan tugas publik tidak mungkin melanggar hukum.
Tidak disangkal bahwa diilhaminya wewenang menguji yang terbatas itu adalah tidak lain karena harapan bahwa sistim peradilan administrasi sesegera mungkin akan dapat dibentuk, akan tetapi karena hakim administrasi yang diharapkan itu tidak kunjung datang, maka untuk mengisi kekosongan hukum itu, Hakim Perdata telah mengambil alih wewenangnya melalui ajaran obiectim litis tadi.
UU Nomor 14 Tahun 1970
Tatkala rancangan undang-undang tersebut dibicarakan toetsingsrecht atau judicial Review pernah disinggung dalam hubungannya dengan Peradilan Tata Usaha Negara, melalui perbandingan sistim hukum Prancis, yang menolak Judicial Review, kemudian sistim Amerika yang sangat luas karena meliputi pula judicial review terhadap Legislative Act, maka mengenai hak uji Mahkamah Agung, pemerintah menjelaskan demikian.
Pada umumnya dalam hal menguji sesuatu perkara dimuka sidang pengadilan, Hakim berhak untuk menguji secara formil maupun materil mengenai sah tidaknya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila Hakim berpendapat bahwa suatu peraturan atau bertentangan tidaknya dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila Hakim berpendapat bahwa suatu peraturan adalah tidak sah maka ia dengan mengenyampingkan peraturan yang bersangkutan akan mengadili berdasar kan hukum dan keadilan. Ini berarti bahwa peraturan itu tidak dapat dibatalkan oleh Hakim, tetapi dianggap tidak mengikat dalam kasus yang dihadapi.
Sebaliknya MA menggunakan hak ujinya dan ternyata bahwa peraturan itu menjadi batal demi hukum dan tidak berlaku lagi secara umum. Dalam menggunakan hak uji, MA dapat secara tegas menyatakan bahwa peraturan itu adalah tidak sah. Putusan tidak sah itu mengandung perintah agar peraturan yang bersangkutan dicabut oleh instansi yang mengeluarkannya.
Dua Bentuk Judicial Review
Dengan terbentuknya PTUN, maka perlu diperhatikan bahwa wewenang yang diserahi pada Hakim administrasi terbatas pada bidang-bidang tertentu, misalnya kepegawaian atau hubungan hukum sosial ekonomi. Yang menentukan disini adalah hubungan hukum yang spesifik (fundamentum petendi) antara penguasa dengan rakyat dituangkan dalam bentuk penetapan. Bila tidak demikian halnya, maka berdasarkan obiectum litis perlindungan hukum terhadap penguasa akan ditampung oleh Hakim perdata. Jadi meskipun telah ada PTUN, Hakim Perdata senantiasa berwenang mengadili perbuatan melanggar hukum oleh penguasa.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa judicial review terhadap Executive Act harus melalui suatu proses, yang berpuncak pada tingkat Kasasi. Bila pada tingkat pertama dan tingkat banding, Hakim dalam putusannya hanya diperkenankan menyatakan bahwa peraturan yang bersangkutan "tidak mengikat", "tidak menerapkan", "menyisihkan", atau "melanggar hukum", maka MA selain pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas "dapat" memutus bahwa peraturan yang bersangkutan adalah "tidak sah" yang sebagaimana disinggung diatas mengandung perintah untuk dicabut atau dihapus, wewenang mana tidak dipercayakan pada Hakim yang belum punya kemampuan teruji. (160504)
Senin, 13 Juli 2009
Demokrasi & Perubahan Sosial
Demokrasi merupakan sebuah sifat pemerintahan yang banyak dianut oleh negara-negara didunia saat ini. Namun demokrasi tampil dalam berbagai bentuk sesuai situasi, kondisi dan pengaruh gaya kepemimpinan serta konstitusi negara tersebut. Demokrasi tersebut juga mempunyai banyak muka diantaranya yaitu, demokrasi liberal, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan sebagainya.
Secara sederhana demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berada di tangan rakyat atau lebih tepatnya kedaulatan yang ditentukan oleh rakyat. Di negara-negara yang menganut paham ini, untuk menentukan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, dilakukan melalui suatu Pemilihan Umum (Pemilu) yang bersifat langsung, jujur dan adil.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan pemerintahan absolut yang mana pemerintahannya dipimpin oleh seorang raja. Karena kekuasaanya yang bersifat absolut tersebut maka raja akan punya ruang yang longgar atau memungkinkan untuk memerintah dengan sewenang-wenang. Kondisi ini membuat orang tidak punya kesempatan mempertanyakan dan mempersoalkan tentang negara, mengapa orang-orang tertentu bisa berkuasa sedangkan orang yang lainnya tunduk, apa dasar kekuasaan itu, dan lain sebagainya.
Tegasnya, bahwa pada kondisi seperti itu orang tidak mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan pikiran dan menyatakan pendapatnya secara bebas, walaupun secara historis tidak semuanya raja bersifat sewenang-wenang seperti yang disebutkan diatas. Setidaknya kita bisa lihat pada studi-studi tentang negara pada zaman dibangunnya peradaban manusia.
Pada zaman itu, ternyata masih ada raja-raja yang memerintah dengan baik hati. Salah satunya adalah dengan memberikan undang-undang yang menjamin hak-hak daripada warga negaranya. Raja tersebut adalah raja dari Babylonia yang bernama Chammurabi yang memerintah sekitar tahun 1800 SM yang terkenal mempersatukan negaranya yang semula terpecah belah, (Soehino, 1996 : 11).
Sementara itu, di Indonesia sendiri dalam perjalanan sejarah demokrasi, telah menerapkan berbagai bentuk demokrasi dalam beberapa periodesasi dan perubahan konstitusi. Dimulai dari pemberlakuan UUD 1945 pada awal kemerdekaan, UUD RIS 1949, UUDS 1950 serta kembali ke UUD 1945 (yang juga terjadi beberapa kali perubahan). Secara historis, perubahan tersebut, kemudian juga diikuti oleh terjadinya perubahan-perubahan sosial.
Perubahan sosial merupakan suatu proses yang kontinyu (berkelanjutan), dengan berbagai kontradiktif yang terdapat pada struktur-struktur sosial yang berbeda, apabila dilihat dalam jangka waktu berabad-abad. Hal ini pun mempunyai hubungan langsung dengan studi tentang stratifikasi sosial.
Dalam konteks stratifikasi sosial, merupakan suatu hal yang khas, bahwa kecendrungan memandang pekerjaan dalam pemerintah (dengan kedudukan yang tinggi sekalipun) sebagai suatu variabel yang tidak berdiri sendiri (dependent variable), umpamanya apabila kita meneliti distribusi pejabat-pejabat atas dasar asal-usul sosial. Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat) yang berfungsi memberikan pertimbangan cendrung tidak objektif dalam menilai layak atau tidak layaknya seseorang menduduki jabatannya. Ukurannnya bukan lagi kinerja, tapi lebih kepada ikatan emosional yang terbangun dalam selama menjadi tim sukses kepala daerah terpilih, sehingga hanya orang yang merupakan bagian dari tim sajalah yang akan mendapatkan posisi-posisi jabatan penting dalam pemerintahan walaupun tidak punya kapasitas dan kapabilatas terhadap jabatan tersebut.
Untuk maju kearah demokrasi, kita dihadapkan pada paradoks-paradoks yang membingungkan. Di satu pihak harus memusatkan dan meningkatkan kekuasaan untuk mengadakan rangka dasar peran-peran serta identifikasi sosial baru, tetapi bersamaan dengan itu harus mengadakan desentralilasi serta mengurangi kekuasaan dengan tujuan agar partisipasi lebih luas dalam hal mengambil keputusan yang juga mutlak diperlukan bagi perwujudan pemerintah demokratis menjadi mungkin.
Dengan memahami paradoks-paradoks demikian, kita akan menjadi mengerti, apa sebab suatu negara tak dapat berpindah secara lancar dan mudah, ke demokrasi hanya dengan membuat Undang-Undang Dasar baru serta memberi setiap orang hak untuk memilih. Malah setiap kali tercapai kemajuan kearah demokrasi, baik di Eropa maupun di Asia, senantiasa hal ini ditandai oleh krisis-krisis kekerasan, gejolak revolusioner serta pola-pola pembangunan yang tak seimbang.
Di negara-negara yang ekonominya masih terbelakang, pemerintah itu sesungguhnya merupakan salah satu faktor ekonomi yang terpenting. Oleh karena itu maka pejabat-pejabat pemerintah ikut menikmati gengsi memerintah, juga apabila kedudukan mereka rendah sekalipun, maka kesempatan-kesempatan untuk menduduki jabatan pemerintah dan untuk mempengaruhi pelaksanaan kekuasaan merupakan pokok-pokok rebutan yang penting, dalam arti sudah bersifat pribadi, yang merupakan ciri khas masyarakat-masyarakat dimana berorientasi kekerabatan.
Dalam implikasi yang lebih dalam lagi, yang terdapat pada masyarakat modern. Modernisasi sering diam-diam melemahkan bahkan sampai menghancurkan cara kehidupan tradisional dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat lokal. Itu pulalah yang menjadi sebab bagi timbulnya perlawanan kuat dari pihak kalangan paling diuntungkan oleh cara dan gaya hidup lama.
Persoalannnya kemudian adalah, nilai-nilai lokal yang mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus direkonstruksi. Hal ini menyeret kita kepada sesuatu yang dilematis ketika fenomena ini muncul pada daerah yang dihuni masyarakat yang beragam/pluralis, seperti halnya negara Indonesia yang dihuni oleh bermacam suku, budaya, agama dan etnis.
Pemerintahan sentralisasi akan mengahadapkan masyarakat atau warga negaranya, pada munculnya dan berkuasanya pemimpin yang otoriter, namun pemerintah federal akan menyeret masyarakat pada dis-integrasi bangsa. Bingkai negara kesatuan yang menjadikan desentralisasi dalam wujud otonomi daerah sebagai solusi merupakan sebuah kebijakan yang mampu mengakomodasi kepentingan daerah dalam konteks pembangunan.
Orde reformasi yang berlangsung lebih kurang 10 tahun ke belakang di negara Indonesia telah memunculkan prilaku-prilaku sosial baru pada lingkungan sosial maupun pada lingkungan pemerintahan. Masyarakat yang pada masa pemerintahan Orde Baru yang bersifat sentralistik, takut melakukan kritikan-kritikan atas kebijakan dan pelayanan pemerintah yang tidak baik, berubah menjadi masyarakat kritis yang terkadang cendrung destruktif dengan berbagai bentuk aksi-aksi untuk menumpahkan kekecewaan (cendrung emosional).
Dalam konteks stratifikasi sosial, merupakan suatu hal yang khas, bahwa kecendrungan memandang pekerjaan dalam pemerintah (dengan kedudukan yang tinggi sekalipun) sebagai suatu variabel yang tidak berdiri sendiri (dependent variable), umpamanya apabila kita meneliti distribusi pejabat-pejabat atas dasar asal-usul sosial. Sehingga Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat) yang berfungsi memberikan pertimbangan cendrung tidak objektif dalam menilai layak atau tidak layaknya seseorang menduduki jabatannya. Ukurannnya bukan lagi kinerja tapi lebih kepada primordialisme sempit.
Hal itu tidak terlepas dari sangat minimnya kualitas sumber daya manusia masyarakat Indonesia. Tentu ini juga tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang lebih banyak disebabkan oleh faktor ekonomi. Di beberapa daerah tertentu ini juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat lokal. Disisi yang lain demokrasi pendidikan melalui program dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang diharapkan dapat memberikan pendidikan secara gratis dengan sesungguhnya pun masih debatable (dalam perdebatan).
Dalam konteks demokrasi, hal diatas mengandung arti bahwa penerapan demokrasi baru berada pada tahap liberty (kebebasan), yang pada umumnya dianut dan dipahami oleh masyarakat tradisionalis yang cendrung memahami demokrasi secara sempit. Tetapi didalam masyarakat modernis yang sudah memahami demokrasi, prinsip egality (persamaan hak) dan fraternity (persaudaraan) menjadi dasar pertimbangan guna mengakomodir kepentingan seluruh masyarakat.
Otonomi daerah yang diperuntukkan bagi pemerintahan Kabupaten dan Kota mengandung makna bahwa daerah mempunyai kesempatan menggali dan memberdayakan potensi, baik Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki daerahnya. Dimana masyarakat melalui kepala daerahnya mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan membangun daerah dengan mengangkat kembali nilai-nilai dan budaya lokal yang ada di daerah tersebut.
Beranjak dari hal diatas, maka hal yang penting yang perlu kita lakukan adalah bahwa prinsip demokrasi harus berjalan sesuai dengan koridor yaitu mengedepankan pertimbangan pluralisme (keberagaman) dengan tidak mengenyampingkan keberadaan minoritas dan mampu menerima konsekwensi dari hak-hak mayoritas dengan paradigma Bhinneka Tunggal Ika yang secara intrinsik mengandung prinsip pluralisme/keberagaman.
Jika hal itu berjalan dengan baik, maka pelaksanaan otonomi daerah yang memperhatikan unsur pluralisme akan berjalan secara demokratis berdasarkan tiga prinsip demokrasi diatas. Dengan memahami prinsip-prinsip demokrasi tersebut maka pemerintah daerah perlu memberi ruang bagi tumbuhnya keberagaman. Ini akan meminimalisir bahaya rentannnya dis-integrasi dan sentimen kedaerahan secara sempit. (170709)