Jumat, 10 Juli 2009

Komitmen Kekinian HMI

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah merupakan sebuah organisasi berstatus sebagai organisasi mahasiswa didirikan pada tanggal 5 Februari 1947. Kelahirannya mempunyai latar belakang yang fundamental, yaitu mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan derajat kehidupan bangsanya serta menegakkan ajaran Islam dan memajukan ummat. Dengan demikian, perjalanan HMI dalam perkembangannnya tidak bisa dilepaskan dari perjuangan terhadap masalah kebangsaan dan masalah ke-Islam-an.


Penegasan terhadap latar belakang yang fundamental tersebut kemudian dimaktubkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang disebut dengan Konstitusi HMI. Selanjutnya diderivasikan melalui Pedoman-pedoman Pokok Organisasi HMI, seperti Pedoman Perkaderan, Pedoman KOHATI, Pedoman Lembaga Kekaryaan, Pedoman Atribut, dan Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) dan Prokram Kerja Nasional (PKN).


Tujuan HMI sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Anggaran Dasar yang berbunyi : “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah Subhannahuwwata’ala”, adalah merupakan tujuan besar yang sangat mulia sebagaimana HMI merupakan bagian penting dari bangsa dan ummat (Islam). Dalam menerapkan tujuan-tujuan ini HMI meumuskannya dalam bentuk “Mission” HMI.


Mission HMI adalah merupak tugas dan tangung jawab yang harus diemban oleh setiap kader HMI. Untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab tersebut, kader HMI dituntut agar memiliki dua komitmen (ikatan jiwa). Pertama, komitmen kebangsaan yang bertanggung jawab mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mempertinggi derajat bangsa. Dan kedua, komitmen ke-Islam-an atau keummatan yang bertanggung jawab menegakkan dan mengembangkan syiar Islam.


Pengejawantahan fungsi HMI sebagai organisasi kader yang bertujuan membina anggotanya menjadi kader, dilakukan melalui pelaksanaan training formal (Basic Training, Intermediate Training dan Advance Training), serta kegiatan pelatihan dan pemantapan ke-HMI-an lainnya yang menjadi focus dan objek dari tujuan HMI dalam pembentukan integritas (kepribadian) kader dengan dinamika berpikir, bersikap dan berprilaku sebagaimana diaktualisasikan dalam kepribadian dan watak asasi kader HMI.


Kedua wawasan diatas menjadi sebuah wawasan yang menyatu padu atau bersifat integralistik. Ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain saling melengkapi dan tidak bias dipisahkan. Ia tidak akan berharga ketika salah satu sisinya tidak mempunyai nilai. Wawasan yang bersifat integralistik ini menjadi landasan berpikir dan bertindak bagi HMI dalam menyikapi problem kebangsaan dan roblem keummatan dalam rangka mewujudkan peran HMI sebagai sumber insani pembangunan bangsa sebagaimana termaktub dalam pasal 10 Anggaran Dasar HMI.


Perkaderan HMI Hari Ini

Bila ditinjau dari segi integritas dan moralitas, rendahnya pengaruh NDP dalam membentuk karakter kader HMI hari in merupakan fenomena yang disebabkan oleh ketidakmampuan HMI dalam mengapresiasi dan mensosialisasikan makna dan hakikat konsepsi dasar NDP secara baik dan benar. Hal ini terjadi pada struktur HMI, baik pada tingkat Cabang maupun Komisariat.


Kekeliruan memahami konsep sekularisasi (meminjam istilah Talcot Parsons) yang dimaksudkan oleh Cak Nur (Nurcholis Madjid) sebagai suatu penerapan nilai-nilai dalam penegakan sumber ketauhidan yang menjadi paradigma dan dirumuskan HMI dalam bentuk NDP HMI, dimaksudkan untuk mendorong daya kritis dan progresivitas kader HMI, telah bias. Kecendrungan yang terjadi saat ini adalah sebuah bentuk sekularisme pemikiran, bukan lagi pemahaman terhadap sekularisasi sebagai alat untuk penegakan tauhid dimana Islam sebagai fundamental value (nilai dasar) adalah jiwa atau rohnya.


Yang paling mengkhawatirkan hari ini adalah bahwa Latihan Kader I (Basic Training) sebagai salah satu persyaratan formal yang bersifat mutlak untuk bias menjadi kader HMI, lebih cendrung dilaksanakan sebagai suatu kegiatan yang bersifat formalitas yang kering dengan muatan nilai-nilai yang sesungguhnya ada pada materi-materi Ke-HMI-an, keorganisasian dan pendidikan (pengayaan intelektual), baik dalam pembentukan sikap maupun wawasan intelektual kader. Sehingga LK I hanya sebuah kegiatan yang bermakna politis yang lebih mengedepankan peningkatan intensitas perkaderan dan kuantitas kader yang mengabaikan kualitas pembentukan integritas dan moralitas kader.


Perkaderan HMI tidak lagi dilihat sebagai sebuah proses pembelajaran dan pengayaan intelektual serta penambahan wawasan intelektual bagi setiap unsure yang ada pada setiap training. Pedoman perkaderan yang hamper setiap periode kepengurusan dirumuskan dalam bentuk acara Lokakarya Perkaderan tidfak mampu dipahami sebagai sebuah khasanah yang berisikan metode dan etika perkaderan, tetapi pedoman perkaderan hanya diangap sebagai sebuah buku yang hanya perlu dibaca untuk dipahami tanpa perlu diapresiasi.


Persoalan-persoalan diatas berimplikasi kepada rendahnya etika dan moralitas kader HMI serta pemahaman dan kepatuhan astas konstitusi organisasi. Kurangnya pemahaman tentang makna perkaderan sebagai jantung bagi HMI dalam pembentukan karakter (Character building) dan pengembangan wawasan serta penambahan pengalaman, menjadi penting untuk segera disikapi oleh HMI.


Untuk itu, training formal, up-grading, dan pelatihan-pelatihan serta diskusi-diskusi yang membicarakan tentang perkaderan HMI perlu lebih diintensifkan guna memupuk komitmen dan konsistensi terhadap fungsi HMI sebagai organisasi kader dalam menyokong pembentukan watak asasi kader HMI.


Reposisi Peran HMI

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru kemudian digantikan dengan Orde Reformasi pada tahun 1998, telah membawa kalangan aktivis HMI kepada hal-hal yang bersifat pragmatis. Kecendrungan itu masih ada bahkan berkembang sampai saat ini. Dinamika gerakan HMI menjadi kurang bermakna yang menjadikan HMI tidak lagi punya bargaining position (posisi tawar) yang strategis.


Kurangnya minat mahasiswa Islam untuk mengikuti training perkaderan HMI merupakan pencitraan negative terhadap HMI. Kampus-kampus terkemuka yang sebelumnya merupakan basis HMI, sekarang ditempati oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan yang bersifat kebangsaan dan keummatan yang telah memarjinalkan peran HMI. Forum study Islam menjadi wadah yang mampu menyahuti keinginan sebagian mahasiswa Islam dalam mengkaji persoalan ke-Islam-an dan menggeser peran yang selama ini menjadi concern HMI di perguruan tinggi.

Bahkan keberpihakan HMI sebagai organisasi yang berazaskan Islam yang selama ini konsisten dalam memperjuangkan musthadafin (kaum tertindas), mulai stagnan. Aksi-aksi perjuangan mahasiswa melawan mustakbirin (kaum penindas) tidak lagi dimotori dan digerakkan oleh HMI secara organisasi maupun kader-kader HMI secara individu atau pribadi. Persoalan keummatan yang actual hari ini tidak mampu menggugah peran dan fungsi HMI untuk melaksanakan political action (aksi politik).


Sementara itu disisi lain, kecendrungan para kader HMI untuk berdiskusi pada domain politik praktis telah membawa HMI kepada perpecahan yang memunculkan irisan-irisan baik tingkat Pengurus Cabang hingga PB HMI. Walaupun politik sebenarnya bukanlah sesuatu yang diharamkan di HMI, namun secara kontekstual, political practice (politik praktis) lebih dominant dibandingkan dengan political exercise (pembelajaran politik). Sehingga HMI sudah terbawa kepada sikap dan prilaku politik praktis yang sangat pragmatis.


Intervensi beberapa kalangan senior dan alumni HMI terhadap yuniornya, menggiring aktivis HMI kepada pelaksanaan politik praktis yang lebih kongkrit. Bahkan dalam beberapa kasus, ada beberapa orang pengurus inti HMI Cabang (Ketua Umum dan Sekum) diikut sertakan secara langsung dalam arena pertarungan politik praktis senior HMI. Anehnya, ini diangap sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa di HMI dalam rangka distribusi kader.


Kesabaran selama menjadi pengurus HMI telah dikalahkan oleh libido politik yang membawa kader HMI kepada hal-hal yang bersifat pragmatis dengan mengorbankan idealisme dan amanah organisasi. Tak jarang hal ini juga melahirkan adventurier political (petualang politik) yang bersifat oportunis yang dapat merusak pencitraan HMI sebagai organisasi yang mempunyai komitmen kebangsaan dan ke-Islam-an.


Fenomena lain yang berkembang saat ini adalah melemahnya supremasi hokum di tubuh HMI. Penyalahgunaan kewenangan dan penyalahgunaan sistim administrasi serta perbuatan amoral yang tidak sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI sudah menjadi hal biasa, terjadi saat ini. Dalm konteks ini HMI sudah berada pada posisi yang kritis dan perlu diselamatkan dengan mengembalikan peran dan fungsi Konstitusi HMI sebagai rule of law (aturan yang wajib dipatuhi).


Dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang muncul di tubuh HMI hari ini, tidak ada jalan lain selain memposisikan kembali HMI sesuai dengan ide dasar kelahiran dan tujuannya dalam membentuk lima kualitas insan cita sehingga HMI sebagai sumber insani pembangunan bangsa menjadi kokoh dengan dua komitmen yang dimilikinya. Jayalah HMI !!!


*) Penulis adalah Mantan Ketua Badko HMI Sumatera Barat (2000-2002).

Tidak ada komentar: