Selasa, 28 Juli 2009

Judicial Review : Sebuah Upaya Hukum

"Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum(Rechstaats), bukan berdasarkan pada kekuasaan belaka"(Machstaats).

Secara substansial, kalimat diatas menjelaskan bahwa pada dasarnya Negara Republik Indonesia sangat mengedepankan aspek hukum dibanding aspek politik. Namun realitanya kemudian adalah bahwa proses politik cendrung mengenyampingkan proses hukum yang harus dilalui. Bahkan hukum sering dipandang sebagai sebuah jargon yang memarginalkan peran masyarakat.

Dalam sistem hukum yang dianut negara Indonesia, ada beberapa upaya hukum, yang salah satunya adalah Yudicial Review atau hak untuk menguji undang-undang. Ini sering biasanya dilakukan terhadap produk hukum yang dikeluarkan oleh organ negara dimana produk hukum yang ditetapkan harus disesuaikan dengan undang-undang yang lebih tinggi, dalam arti kata bahwa setiap produk hukum tidak boleh bertentangan dengan produk hukum yang diatasnya.

Disiplin hukum telah menggaris bawahi 4 (empat) substaat atau unsur inharen dari negara hukum : 1. Azas Legalitas, 2. Pemisahan kekuasaan, 3. Jaminan hak azazi manusia, 4. Pengawasan atau wewenang menguji oleh Hakim (Judicial Review) terhadap tindakan penguasa. Bila wewenang menguji berfungsi sebagai peluang bagi para yustisia belen terhadap masalah tidak sahnya suatu tindakan penguasa untuk diuji, maka azas legalitas mengandung perintah bahwa setiap tindakan penguasa untuk diuji, maka azas legalitas mengandung perintah bahwa setiap tindakan penguasa harus bersumber pada ketentuan perundang-undangan formil atau Undang-Undang Dasar. Norma-normanya harus dirumuskan secara umum, sedangkan pembentukannya atas dasar kerjasama dengan DPR dan demi kepastian hukum, pengumumannya harus secara sempurna.

Jadi bila azas legalitas di satu pihak merupakan wewenang penguasa, maka di pihak lain azas tersebut justru membatasi setiap tindakannya.

Di negeri Belanda, wewenang menguji oleh Hakim baru diterima setelah HIR dalam tahun 1915 mengemukakan ajaran "Obiectum Litis", yang mengandung arti bahwa untuk dapat menerapkan pasal 2 RO yang mengatur tentang wewenang Hakim Perdata cukup bila penggugat menuntut agar ia "dilindungi dalam hak", bukan hubungan hukum yang sifatnya perdata antara kedua belah pihak.

Dengan demikian maka yang menentukan gugatan bukan saja Fundamentum Petendi (dasar atau sifat daripada hubungan hukum), melainkan juga obiectum litis (objek dari pada sengketa).
Praktis ajaran tersebut mengandung arti bahwa untuk Yurisprudensi Hakim Perdata cukup bila penggugat menuntut bahwa "penguasa telah melakukan perbuatan melanggar hukum".

Kebebasan Hukum Yang Tidak Terbatas
Sebelum tahun 1915 merupakan pendapat umum bahwa penguasa seyogyanya diberi kebebasan hukum seluas mungkin dalam memelihara, membina dan melindungi kepentingan umum yang menjadi tanggung jawabnya menurut Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar tanpa melinatkan Hakim yang hanya berfungsi dalam bidang perdata dan pidana, selain itu penguasa tunduk pengawasan atasannya yang dapat saja membatalkan tindakannya pada tingkat banding.

Pendapat tersebut bisa bertahan selama tugas negara hanya berkisar pada menjamin kemerdekaan, hak milik perorangan atau ketertiban umum (negara polisi atau Nachtwakerstaat), akan tetapi oleh karena perkembangannya, negara bukan hanya mengkodifisir tetapi juga memodifisir, bukan hanya mempertahankan akan tetapi juga mengintervensi dan mendistribusi (negara kemakmuran atau Welfarstaat), maka sejajar dengan perkembangan tersebut tugas pemerintah menjadi meluas dan tidak terbatas. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana batas-batas dari wewenang tersebut?.

Dalam pengawasan demokrasi oleh pihak DPR dalam memberi perlindungan hukum kepada rakyat terhadap penguasa kurang memadai, sedangkan keberatan atau banding administratif tidak menjadi objektivitas pemeriksaan. Gap atau celah dalam perlindungan hukum rakyat terhadap penguasa yang kian berkuasa karena ketidakhadiran hakim administratif ditampung oleh Hakim Perdata yang menguji tindakan penguasa pada pasal 1365 BW.

Titik tolak dari wewenang menguji tersebut adalah bahwa hukum perdata merupakan "Hukum Umum" yang dapat saja diterapkan pada penguasa selama hukum publik tidak menentukan lain. Suatu kriteria yang sesungguhnya memungkinkan rakyat menggugat negara atas tindakan organnya yang merugikannya. semula memang dibedakan antara negara sebagai "badan hukum khusus" yang hanya dapat digugat karena dianggap setingkat dengan rakyat biasa dalam hubungan kemasyrakatan, negara sebagai "Pengusa Umum" yang tidak dapat digugat karena penguasa dalam menjalankan tugas publik tidak mungkin melanggar hukum.

Tidak disangkal bahwa diilhaminya wewenang menguji yang terbatas itu adalah tidak lain karena harapan bahwa sistim peradilan administrasi sesegera mungkin akan dapat dibentuk, akan tetapi karena hakim administrasi yang diharapkan itu tidak kunjung datang, maka untuk mengisi kekosongan hukum itu, Hakim Perdata telah mengambil alih wewenangnya melalui ajaran obiectim litis tadi.

UU Nomor 14 Tahun 1970
Tatkala rancangan undang-undang tersebut dibicarakan toetsingsrecht atau judicial Review pernah disinggung dalam hubungannya dengan Peradilan Tata Usaha Negara, melalui perbandingan sistim hukum Prancis, yang menolak Judicial Review, kemudian sistim Amerika yang sangat luas karena meliputi pula judicial review terhadap Legislative Act, maka mengenai hak uji Mahkamah Agung, pemerintah menjelaskan demikian.

Pada umumnya dalam hal menguji sesuatu perkara dimuka sidang pengadilan, Hakim berhak untuk menguji secara formil maupun materil mengenai sah tidaknya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila Hakim berpendapat bahwa suatu peraturan atau bertentangan tidaknya dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila Hakim berpendapat bahwa suatu peraturan adalah tidak sah maka ia dengan mengenyampingkan peraturan yang bersangkutan akan mengadili berdasar kan hukum dan keadilan. Ini berarti bahwa peraturan itu tidak dapat dibatalkan oleh Hakim, tetapi dianggap tidak mengikat dalam kasus yang dihadapi.

Sebaliknya MA menggunakan hak ujinya dan ternyata bahwa peraturan itu menjadi batal demi hukum dan tidak berlaku lagi secara umum. Dalam menggunakan hak uji, MA dapat secara tegas menyatakan bahwa peraturan itu adalah tidak sah. Putusan tidak sah itu mengandung perintah agar peraturan yang bersangkutan dicabut oleh instansi yang mengeluarkannya.

Dua Bentuk Judicial Review
Dengan terbentuknya PTUN, maka perlu diperhatikan bahwa wewenang yang diserahi pada Hakim administrasi terbatas pada bidang-bidang tertentu, misalnya kepegawaian atau hubungan hukum sosial ekonomi. Yang menentukan disini adalah hubungan hukum yang spesifik (fundamentum petendi) antara penguasa dengan rakyat dituangkan dalam bentuk penetapan. Bila tidak demikian halnya, maka berdasarkan obiectum litis perlindungan hukum terhadap penguasa akan ditampung oleh Hakim perdata. Jadi meskipun telah ada PTUN, Hakim Perdata senantiasa berwenang mengadili perbuatan melanggar hukum oleh penguasa.

Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa judicial review terhadap Executive Act harus melalui suatu proses, yang berpuncak pada tingkat Kasasi. Bila pada tingkat pertama dan tingkat banding, Hakim dalam putusannya hanya diperkenankan menyatakan bahwa peraturan yang bersangkutan "tidak mengikat", "tidak menerapkan", "menyisihkan", atau "melanggar hukum", maka MA selain pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas "dapat" memutus bahwa peraturan yang bersangkutan adalah "tidak sah" yang sebagaimana disinggung diatas mengandung perintah untuk dicabut atau dihapus, wewenang mana tidak dipercayakan pada Hakim yang belum punya kemampuan teruji. (160504)

Senin, 13 Juli 2009

Demokrasi & Perubahan Sosial

Oleh : Verreiswind Marwan Bustami


Demokrasi merupakan sebuah sifat pemerintahan yang banyak dianut oleh negara-negara didunia saat ini. Namun demokrasi tampil dalam berbagai bentuk sesuai situasi, kondisi dan pengaruh gaya kepemimpinan serta konstitusi negara tersebut. Demokrasi tersebut juga mempunyai banyak muka diantaranya yaitu, demokrasi liberal, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan sebagainya.

Secara sederhana demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berada di tangan rakyat atau lebih tepatnya kedaulatan yang ditentukan oleh rakyat. Di negara-negara yang menganut paham ini, untuk menentukan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, dilakukan melalui suatu Pemilihan Umum (Pemilu) yang bersifat langsung, jujur dan adil.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan pemerintahan absolut yang mana pemerintahannya dipimpin oleh seorang raja. Karena kekuasaanya yang bersifat absolut tersebut maka raja akan punya ruang yang longgar atau memungkinkan untuk memerintah dengan sewenang-wenang. Kondisi ini membuat orang tidak punya kesempatan mempertanyakan dan mempersoalkan tentang negara, mengapa orang-orang tertentu bisa berkuasa sedangkan orang yang lainnya tunduk, apa dasar kekuasaan itu, dan lain sebagainya.

Tegasnya, bahwa pada kondisi seperti itu orang tidak mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan pikiran dan menyatakan pendapatnya secara bebas, walaupun secara historis tidak semuanya raja bersifat sewenang-wenang seperti yang disebutkan diatas. Setidaknya kita bisa lihat pada studi-studi tentang negara pada zaman dibangunnya peradaban manusia.

Pada zaman itu, ternyata masih ada raja-raja yang memerintah dengan baik hati. Salah satunya adalah dengan memberikan undang-undang yang menjamin hak-hak daripada warga negaranya. Raja tersebut adalah raja dari Babylonia yang bernama Chammurabi yang memerintah sekitar tahun 1800 SM yang terkenal mempersatukan negaranya yang semula terpecah belah, (Soehino, 1996 : 11).

Sementara itu, di Indonesia sendiri dalam perjalanan sejarah demokrasi, telah menerapkan berbagai bentuk demokrasi dalam beberapa periodesasi dan perubahan konstitusi. Dimulai dari pemberlakuan UUD 1945 pada awal kemerdekaan, UUD RIS 1949, UUDS 1950 serta kembali ke UUD 1945 (yang juga terjadi beberapa kali perubahan). Secara historis, perubahan tersebut, kemudian juga diikuti oleh terjadinya perubahan-perubahan sosial.

Perubahan sosial merupakan suatu proses yang kontinyu (berkelanjutan), dengan berbagai kontradiktif yang terdapat pada struktur-struktur sosial yang berbeda, apabila dilihat dalam jangka waktu berabad-abad. Hal ini pun mempunyai hubungan langsung dengan studi tentang stratifikasi sosial.

Dalam konteks stratifikasi sosial, merupakan suatu hal yang khas, bahwa kecendrungan memandang pekerjaan dalam pemerintah (dengan kedudukan yang tinggi sekalipun) sebagai suatu variabel yang tidak berdiri sendiri (dependent variable), umpamanya apabila kita meneliti distribusi pejabat-pejabat atas dasar asal-usul sosial. Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat) yang berfungsi memberikan pertimbangan cendrung tidak objektif dalam menilai layak atau tidak layaknya seseorang menduduki jabatannya. Ukurannnya bukan lagi kinerja, tapi lebih kepada ikatan emosional yang terbangun dalam selama menjadi tim sukses kepala daerah terpilih, sehingga hanya orang yang merupakan bagian dari tim sajalah yang akan mendapatkan posisi-posisi jabatan penting dalam pemerintahan walaupun tidak punya kapasitas dan kapabilatas terhadap jabatan tersebut.

Untuk maju kearah demokrasi, kita dihadapkan pada paradoks-paradoks yang membingungkan. Di satu pihak harus memusatkan dan meningkatkan kekuasaan untuk mengadakan rangka dasar peran-peran serta identifikasi sosial baru, tetapi bersamaan dengan itu harus mengadakan desentralilasi serta mengurangi kekuasaan dengan tujuan agar partisipasi lebih luas dalam hal mengambil keputusan yang juga mutlak diperlukan bagi perwujudan pemerintah demokratis menjadi mungkin.

Dengan memahami paradoks-paradoks demikian, kita akan menjadi mengerti, apa sebab suatu negara tak dapat berpindah secara lancar dan mudah, ke demokrasi hanya dengan membuat Undang-Undang Dasar baru serta memberi setiap orang hak untuk memilih. Malah setiap kali tercapai kemajuan kearah demokrasi, baik di Eropa maupun di Asia, senantiasa hal ini ditandai oleh krisis-krisis kekerasan, gejolak revolusioner serta pola-pola pembangunan yang tak seimbang.

Di negara-negara yang ekonominya masih terbelakang, pemerintah itu sesungguhnya merupakan salah satu faktor ekonomi yang terpenting. Oleh karena itu maka pejabat-pejabat pemerintah ikut menikmati gengsi memerintah, juga apabila kedudukan mereka rendah sekalipun, maka kesempatan-kesempatan untuk menduduki jabatan pemerintah dan untuk mempengaruhi pelaksanaan kekuasaan merupakan pokok-pokok rebutan yang penting, dalam arti sudah bersifat pribadi, yang merupakan ciri khas masyarakat-masyarakat dimana berorientasi kekerabatan.

Dalam implikasi yang lebih dalam lagi, yang terdapat pada masyarakat modern. Modernisasi sering diam-diam melemahkan bahkan sampai menghancurkan cara kehidupan tradisional dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat lokal. Itu pulalah yang menjadi sebab bagi timbulnya perlawanan kuat dari pihak kalangan paling diuntungkan oleh cara dan gaya hidup lama.

Persoalannnya kemudian adalah, nilai-nilai lokal yang mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus direkonstruksi. Hal ini menyeret kita kepada sesuatu yang dilematis ketika fenomena ini muncul pada daerah yang dihuni masyarakat yang beragam/pluralis, seperti halnya negara Indonesia yang dihuni oleh bermacam suku, budaya, agama dan etnis.

Pemerintahan sentralisasi akan mengahadapkan masyarakat atau warga negaranya, pada munculnya dan berkuasanya pemimpin yang otoriter, namun pemerintah federal akan menyeret masyarakat pada dis-integrasi bangsa. Bingkai negara kesatuan yang menjadikan desentralisasi dalam wujud otonomi daerah sebagai solusi merupakan sebuah kebijakan yang mampu mengakomodasi kepentingan daerah dalam konteks pembangunan.

Orde reformasi yang berlangsung lebih kurang 10 tahun ke belakang di negara Indonesia telah memunculkan prilaku-prilaku sosial baru pada lingkungan sosial maupun pada lingkungan pemerintahan. Masyarakat yang pada masa pemerintahan Orde Baru yang bersifat sentralistik, takut melakukan kritikan-kritikan atas kebijakan dan pelayanan pemerintah yang tidak baik, berubah menjadi masyarakat kritis yang terkadang cendrung destruktif dengan berbagai bentuk aksi-aksi untuk menumpahkan kekecewaan (cendrung emosional).

Dalam konteks stratifikasi sosial, merupakan suatu hal yang khas, bahwa kecendrungan memandang pekerjaan dalam pemerintah (dengan kedudukan yang tinggi sekalipun) sebagai suatu variabel yang tidak berdiri sendiri (dependent variable), umpamanya apabila kita meneliti distribusi pejabat-pejabat atas dasar asal-usul sosial. Sehingga Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat) yang berfungsi memberikan pertimbangan cendrung tidak objektif dalam menilai layak atau tidak layaknya seseorang menduduki jabatannya. Ukurannnya bukan lagi kinerja tapi lebih kepada primordialisme sempit.

Hal itu tidak terlepas dari sangat minimnya kualitas sumber daya manusia masyarakat Indonesia. Tentu ini juga tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang lebih banyak disebabkan oleh faktor ekonomi. Di beberapa daerah tertentu ini juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat lokal. Disisi yang lain demokrasi pendidikan melalui program dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang diharapkan dapat memberikan pendidikan secara gratis dengan sesungguhnya pun masih debatable (dalam perdebatan).

Dalam konteks demokrasi, hal diatas mengandung arti bahwa penerapan demokrasi baru berada pada tahap liberty (kebebasan), yang pada umumnya dianut dan dipahami oleh masyarakat tradisionalis yang cendrung memahami demokrasi secara sempit. Tetapi didalam masyarakat modernis yang sudah memahami demokrasi, prinsip egality (persamaan hak) dan fraternity (persaudaraan) menjadi dasar pertimbangan guna mengakomodir kepentingan seluruh masyarakat.

Otonomi daerah yang diperuntukkan bagi pemerintahan Kabupaten dan Kota mengandung makna bahwa daerah mempunyai kesempatan menggali dan memberdayakan potensi, baik Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki daerahnya. Dimana masyarakat melalui kepala daerahnya mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan membangun daerah dengan mengangkat kembali nilai-nilai dan budaya lokal yang ada di daerah tersebut.

Beranjak dari hal diatas, maka hal yang penting yang perlu kita lakukan adalah bahwa prinsip demokrasi harus berjalan sesuai dengan koridor yaitu mengedepankan pertimbangan pluralisme (keberagaman) dengan tidak mengenyampingkan keberadaan minoritas dan mampu menerima konsekwensi dari hak-hak mayoritas dengan paradigma Bhinneka Tunggal Ika yang secara intrinsik mengandung prinsip pluralisme/keberagaman.

Jika hal itu berjalan dengan baik, maka pelaksanaan otonomi daerah yang memperhatikan unsur pluralisme akan berjalan secara demokratis berdasarkan tiga prinsip demokrasi diatas. Dengan memahami prinsip-prinsip demokrasi tersebut maka pemerintah daerah perlu memberi ruang bagi tumbuhnya keberagaman. Ini akan meminimalisir bahaya rentannnya dis-integrasi dan sentimen kedaerahan secara sempit. (170709)

Mahasiswa : Pejuang dan Intelektual


Mahasiswa merupakan korelasi antara dua fungsi, ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain saling melengkapi. Di satu sisi mahasiswa adalah kaum terpelajar yang berada di komunitas kampus, sedangkan di sisi lain mahasiswa adalah masyarakat dalam komunitas sosial (tempat tinggal/domisilinya). Maka mahasiswa pada kedua sisi tersebut, baik sebagai kaum terpelajar maupun sebagai makhluk sosial berfungsi sebagai "Agent of Social Control".
Pola berpikir kaum terpelajar (intelektual) yang jumlahnya relatif sedikit dibanding dengan jumlah penduduk/komunitas sosialnya. Oleh sebab itu, mau tidak mau mahasiswa memikul beban tanggung jawab memperbaiki masyarakat. Sekalipun mereka masih berusia muda, tetapi berkembang dengan cepat dan matang. Sebab, selain mereka mendapat pendidikan di kampus, mereka juga memperoleh pendidikan langsung dari masyarakat atas dasar kondisi dan situasi dimana mereka tumbuh dan berkembang (Yoza Anwar, 1981).
Perjuangan mahasiswa adalah perjuangan akan kebeneran dan nilai-nilai kemnusiaan. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran yang bersifat umum dan mengandung makna filosofis. Sedangkan nilai-nilai kemanusiaan adalah nilai-nilai yang berlaku umum yang mengandung nilai-nilai hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi. Dalam konteks ini kebenaran dan nilai-nilai kemanusiaan yang secara yuridis formil diatur dalam peraturan perundang-undangan secara hierarkis.
Para pejuang muda mesti memiliki watak dan kepribadian yang kuat. Watak yang kuat tidak lepas dari serentetan pengalaman dari kehidupan, baik pada lingkungan pendidikan maupun pada lingkungan sosial tempat mereka berada. Dengan menimba segala pengalaman, dalam mempelajarinya akan menimbulkan pandangan yang luas dan corak berpikir yang matang secara otensitas. Dalam konteks inilah sikap independen harus dimiliki oleh mahasiswa baik secara individual maupun secara organisatoris/komunal. Dari sinilah nantinya akan melahirkan kebebasan berpikir.
Pengalaman hidup kaum muda sangat dipengaruhi oleh aktivitas organisasi yang digelutinya. Karena dengan berorganisasilah kemudian kaum muda mendapatkan ilmu dan pengalaman yang tidak mereka dapatkan di bangku kuliah. Ini sangat ditentukan oleh faktor intensitas aktivitasnya. Semakin banyak berbuat akan semakin banyak pula ilmu dan pengalaman yang mereka dapatkan.
Organisasi kepemudaan/kemahasiswaan merupakan produk dari korporatisme yang sukar melepaskan diri dari logika pembinaan, bahkan yang lebih ekstrim lagi mereka cendrung dikendalikan. Pembinaan ini kemudian menjadi suasana kondusif bagi berkembangnya budaya restu. Tanpa adanya restu sang pembina, maka segala sesuatu yang diperbuat organisasi tersebut akan kehilangan makna.
Dalam dinamikanya, buudaya restu mempunyai implikasi yang sangat jauh. Orientasi aktivitas kaum muda menjadi mendongkrak keatas, karena diataslah segala keputusan diambil walaupun masih dengan formalitas ketukan palu.
Sementara itu kekeuatan bawah hanya menjadi sekedar bunga-bunga demokrasi yang tak punya karakter sehingga forum pengambilan keputusan untuk meraih kekuasaan menjadi sebuah dinamika internal dalam perubahan struktural. Fungsinya hanya sekedar saksi dan legitimasi ketukan palu, yang sudah diputuskan sebelumnya (Anas Urbaningrum, 1997).
Karena kekuasaan cendrung menindas dan tidak adil, perlu menghubungkan diri dengan massa. Hal ini membutuhkan penempatan diri sebagai pejuang dengan berbagai tulisan dan tindakan sebagai pengayaan dari intelektual yang telah diasah. Maka menjadi sebuah keharusan, peran agama sebagai suatu keyakinan yang dipilih secara sadar untuk memberikan respon kepada problem dan kebutuhan masyarakat memiliki filter yang kuat.
Menurut Ali Syari'ati (Jalalludin Rahmat, 1981), menunjuk orang-orang yang bukan ilmuwan, bukan filosof, bukan teknolog tetapi sanggup membentuk kebudayaan dan peradaban, mereka itulah yang intelektual sejati atau ia menyebut sebagai Rausyanfikr. Kaum intelektual bukan sarjana yang hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati perguruan tingi dan menyandang gelar sarjana.
Mereka adalah orang-orang yang terpangggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, dan menawarkan alternatif pemecahan masalah. Seorang intelektual ialah orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan analitis dan normatif. Orang yang penuh semangat (heroik) dan mampu berbuat kreatif. (Penulis adalah Ketua Umum SMPT UMMY 1999-2000).

*) Tulisan ini telah dimuat pada Mingguan Independen Media Rakyat, Edisi 50 Tahun ke-4.

Jumat, 10 Juli 2009

Komitmen Kekinian HMI

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah merupakan sebuah organisasi berstatus sebagai organisasi mahasiswa didirikan pada tanggal 5 Februari 1947. Kelahirannya mempunyai latar belakang yang fundamental, yaitu mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan derajat kehidupan bangsanya serta menegakkan ajaran Islam dan memajukan ummat. Dengan demikian, perjalanan HMI dalam perkembangannnya tidak bisa dilepaskan dari perjuangan terhadap masalah kebangsaan dan masalah ke-Islam-an.


Penegasan terhadap latar belakang yang fundamental tersebut kemudian dimaktubkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang disebut dengan Konstitusi HMI. Selanjutnya diderivasikan melalui Pedoman-pedoman Pokok Organisasi HMI, seperti Pedoman Perkaderan, Pedoman KOHATI, Pedoman Lembaga Kekaryaan, Pedoman Atribut, dan Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) dan Prokram Kerja Nasional (PKN).


Tujuan HMI sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Anggaran Dasar yang berbunyi : “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah Subhannahuwwata’ala”, adalah merupakan tujuan besar yang sangat mulia sebagaimana HMI merupakan bagian penting dari bangsa dan ummat (Islam). Dalam menerapkan tujuan-tujuan ini HMI meumuskannya dalam bentuk “Mission” HMI.


Mission HMI adalah merupak tugas dan tangung jawab yang harus diemban oleh setiap kader HMI. Untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab tersebut, kader HMI dituntut agar memiliki dua komitmen (ikatan jiwa). Pertama, komitmen kebangsaan yang bertanggung jawab mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mempertinggi derajat bangsa. Dan kedua, komitmen ke-Islam-an atau keummatan yang bertanggung jawab menegakkan dan mengembangkan syiar Islam.


Pengejawantahan fungsi HMI sebagai organisasi kader yang bertujuan membina anggotanya menjadi kader, dilakukan melalui pelaksanaan training formal (Basic Training, Intermediate Training dan Advance Training), serta kegiatan pelatihan dan pemantapan ke-HMI-an lainnya yang menjadi focus dan objek dari tujuan HMI dalam pembentukan integritas (kepribadian) kader dengan dinamika berpikir, bersikap dan berprilaku sebagaimana diaktualisasikan dalam kepribadian dan watak asasi kader HMI.


Kedua wawasan diatas menjadi sebuah wawasan yang menyatu padu atau bersifat integralistik. Ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain saling melengkapi dan tidak bias dipisahkan. Ia tidak akan berharga ketika salah satu sisinya tidak mempunyai nilai. Wawasan yang bersifat integralistik ini menjadi landasan berpikir dan bertindak bagi HMI dalam menyikapi problem kebangsaan dan roblem keummatan dalam rangka mewujudkan peran HMI sebagai sumber insani pembangunan bangsa sebagaimana termaktub dalam pasal 10 Anggaran Dasar HMI.


Perkaderan HMI Hari Ini

Bila ditinjau dari segi integritas dan moralitas, rendahnya pengaruh NDP dalam membentuk karakter kader HMI hari in merupakan fenomena yang disebabkan oleh ketidakmampuan HMI dalam mengapresiasi dan mensosialisasikan makna dan hakikat konsepsi dasar NDP secara baik dan benar. Hal ini terjadi pada struktur HMI, baik pada tingkat Cabang maupun Komisariat.


Kekeliruan memahami konsep sekularisasi (meminjam istilah Talcot Parsons) yang dimaksudkan oleh Cak Nur (Nurcholis Madjid) sebagai suatu penerapan nilai-nilai dalam penegakan sumber ketauhidan yang menjadi paradigma dan dirumuskan HMI dalam bentuk NDP HMI, dimaksudkan untuk mendorong daya kritis dan progresivitas kader HMI, telah bias. Kecendrungan yang terjadi saat ini adalah sebuah bentuk sekularisme pemikiran, bukan lagi pemahaman terhadap sekularisasi sebagai alat untuk penegakan tauhid dimana Islam sebagai fundamental value (nilai dasar) adalah jiwa atau rohnya.


Yang paling mengkhawatirkan hari ini adalah bahwa Latihan Kader I (Basic Training) sebagai salah satu persyaratan formal yang bersifat mutlak untuk bias menjadi kader HMI, lebih cendrung dilaksanakan sebagai suatu kegiatan yang bersifat formalitas yang kering dengan muatan nilai-nilai yang sesungguhnya ada pada materi-materi Ke-HMI-an, keorganisasian dan pendidikan (pengayaan intelektual), baik dalam pembentukan sikap maupun wawasan intelektual kader. Sehingga LK I hanya sebuah kegiatan yang bermakna politis yang lebih mengedepankan peningkatan intensitas perkaderan dan kuantitas kader yang mengabaikan kualitas pembentukan integritas dan moralitas kader.


Perkaderan HMI tidak lagi dilihat sebagai sebuah proses pembelajaran dan pengayaan intelektual serta penambahan wawasan intelektual bagi setiap unsure yang ada pada setiap training. Pedoman perkaderan yang hamper setiap periode kepengurusan dirumuskan dalam bentuk acara Lokakarya Perkaderan tidfak mampu dipahami sebagai sebuah khasanah yang berisikan metode dan etika perkaderan, tetapi pedoman perkaderan hanya diangap sebagai sebuah buku yang hanya perlu dibaca untuk dipahami tanpa perlu diapresiasi.


Persoalan-persoalan diatas berimplikasi kepada rendahnya etika dan moralitas kader HMI serta pemahaman dan kepatuhan astas konstitusi organisasi. Kurangnya pemahaman tentang makna perkaderan sebagai jantung bagi HMI dalam pembentukan karakter (Character building) dan pengembangan wawasan serta penambahan pengalaman, menjadi penting untuk segera disikapi oleh HMI.


Untuk itu, training formal, up-grading, dan pelatihan-pelatihan serta diskusi-diskusi yang membicarakan tentang perkaderan HMI perlu lebih diintensifkan guna memupuk komitmen dan konsistensi terhadap fungsi HMI sebagai organisasi kader dalam menyokong pembentukan watak asasi kader HMI.


Reposisi Peran HMI

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru kemudian digantikan dengan Orde Reformasi pada tahun 1998, telah membawa kalangan aktivis HMI kepada hal-hal yang bersifat pragmatis. Kecendrungan itu masih ada bahkan berkembang sampai saat ini. Dinamika gerakan HMI menjadi kurang bermakna yang menjadikan HMI tidak lagi punya bargaining position (posisi tawar) yang strategis.


Kurangnya minat mahasiswa Islam untuk mengikuti training perkaderan HMI merupakan pencitraan negative terhadap HMI. Kampus-kampus terkemuka yang sebelumnya merupakan basis HMI, sekarang ditempati oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan yang bersifat kebangsaan dan keummatan yang telah memarjinalkan peran HMI. Forum study Islam menjadi wadah yang mampu menyahuti keinginan sebagian mahasiswa Islam dalam mengkaji persoalan ke-Islam-an dan menggeser peran yang selama ini menjadi concern HMI di perguruan tinggi.

Bahkan keberpihakan HMI sebagai organisasi yang berazaskan Islam yang selama ini konsisten dalam memperjuangkan musthadafin (kaum tertindas), mulai stagnan. Aksi-aksi perjuangan mahasiswa melawan mustakbirin (kaum penindas) tidak lagi dimotori dan digerakkan oleh HMI secara organisasi maupun kader-kader HMI secara individu atau pribadi. Persoalan keummatan yang actual hari ini tidak mampu menggugah peran dan fungsi HMI untuk melaksanakan political action (aksi politik).


Sementara itu disisi lain, kecendrungan para kader HMI untuk berdiskusi pada domain politik praktis telah membawa HMI kepada perpecahan yang memunculkan irisan-irisan baik tingkat Pengurus Cabang hingga PB HMI. Walaupun politik sebenarnya bukanlah sesuatu yang diharamkan di HMI, namun secara kontekstual, political practice (politik praktis) lebih dominant dibandingkan dengan political exercise (pembelajaran politik). Sehingga HMI sudah terbawa kepada sikap dan prilaku politik praktis yang sangat pragmatis.


Intervensi beberapa kalangan senior dan alumni HMI terhadap yuniornya, menggiring aktivis HMI kepada pelaksanaan politik praktis yang lebih kongkrit. Bahkan dalam beberapa kasus, ada beberapa orang pengurus inti HMI Cabang (Ketua Umum dan Sekum) diikut sertakan secara langsung dalam arena pertarungan politik praktis senior HMI. Anehnya, ini diangap sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa di HMI dalam rangka distribusi kader.


Kesabaran selama menjadi pengurus HMI telah dikalahkan oleh libido politik yang membawa kader HMI kepada hal-hal yang bersifat pragmatis dengan mengorbankan idealisme dan amanah organisasi. Tak jarang hal ini juga melahirkan adventurier political (petualang politik) yang bersifat oportunis yang dapat merusak pencitraan HMI sebagai organisasi yang mempunyai komitmen kebangsaan dan ke-Islam-an.


Fenomena lain yang berkembang saat ini adalah melemahnya supremasi hokum di tubuh HMI. Penyalahgunaan kewenangan dan penyalahgunaan sistim administrasi serta perbuatan amoral yang tidak sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI sudah menjadi hal biasa, terjadi saat ini. Dalm konteks ini HMI sudah berada pada posisi yang kritis dan perlu diselamatkan dengan mengembalikan peran dan fungsi Konstitusi HMI sebagai rule of law (aturan yang wajib dipatuhi).


Dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang muncul di tubuh HMI hari ini, tidak ada jalan lain selain memposisikan kembali HMI sesuai dengan ide dasar kelahiran dan tujuannya dalam membentuk lima kualitas insan cita sehingga HMI sebagai sumber insani pembangunan bangsa menjadi kokoh dengan dua komitmen yang dimilikinya. Jayalah HMI !!!


*) Penulis adalah Mantan Ketua Badko HMI Sumatera Barat (2000-2002).